Selamat Datang

STOP KORUPSI, STOP MARKUS, STOP SUAP, STOP KONGKALINGKONG. START TO CLEAN YOUR LIF

BERANTAS KORUPSI

BERANTAS KORUPSI
STOP KORUPSI, STOP MARKUS, STOP SUAP, STOP KONGKALINGKONG. START TO CLEAN YOUR LIF

Selasa, 14 Agustus 2007

SANDIWARA PEMBERANTASAN KORUPSI

Oleh : Agus Darwis[1]

Latar Belakang

Tindak Pidana Korupsi ada dan terjadi semua negara, di Indonesia juga demikian. Tindak pidana korupsi di indonesia sudah meluas dalam masyarakat, sehingga membawa bencana terhadap perekonomian nasional dan pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti menemui berbagai hambatan, sehingga perlu methode penegakkan hukum secara luar biasa, oleh badan yg mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun termasuk terbebas dari intervensi politik. Selain dari itu diperlukan kontrol dari masyarakat (publik). Kontrol public yang lemah akan berdampak luas, terutama dalam usaha mereformasi birokrasi di pemerintahan, ini penting dilakukan, mengingat perkembangan korupsi yang subur di tingkat birokrasi pemerintah pusat sampai daerah dan bahkan sampai pada tingkat pemerintahan desa.

Pengakan hukum yang seharusnya memberikan jaminan terwujudnya keadilan bagi masyarakat dan penegakan hukum juga tak luput dari ganasnya jejaring korupsi. Mafia peradilan semakin merajalela dan lembaga peradilan seperti lembaga yang bertugas sebagai penyelenggara lelang perkara yang membuat buncit perut aparat penegak hukum busuk. Rasa keadilan masyarakat digadaikan oleh praktek suap-menyuap. Intervensi politik terhadap proses hukum menyebabkan lembaga peradilan hanya menjadi komoditas politik kekuasaan. Tidak ada kasus korupsi yang benar-benar divonis setimpal dengan perbuatannya. Dengan kekuasaan uang dan perlindungan politik, koruptor dapat menghirup udara bebas tanpa perlu takut dijerat hukum, walaupun divonis bersalah oleh pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri), hukumannya tidak disertai dengan penahanan badan di lembaga pemasyarakatan (rutan). Lihat saja kasus korupsi berjamaah yang melibatkan anggota DPRD Kabupaten Parigi Moutong yang divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palu, korupsi berjamaan anggota DPRD Donggala dan Tolitoli yang divonis bersalah akan tetapi putusan majelis hakim tidak disertai dengan hukuman badan, justru anggota DPRD tersebut masih berleha-leha dan masih tetap aktif dalam pertemuan-pertemuan di gedung DPRD. Mungkin saja ada benarnya, karena orang sering menyebut bahwa anggota DPRD merupakan “katanya” orang yang “terhormat” (anggota dewan terhormat), sehingga aparat penegak hukum tidak punya kuasa memberikan putusan yang setimpal dengan perbuatannya. Akan sangat jauh berbeda kalau masyarakat biasa yang melakukan pelanggaran hukum.

Korupsi yang terjadi di Sulawesi Tengah sudah meluas sampai lapisan masyarakat paling bawah, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi, pola/ modus operandinya serta semakin meningkatnya jumlah kerugian keuangan negara dan masyarakat yang dilakukan secara sistematis dan telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat dan juga mulai dari pemerintahan paling atas (eksekutif dan legislative) sampai pada pemerintahan desa dan RT.

Dengan peningkatan jumlah kasus korupsi yang tidak terkendali telah membawa bencana tidak hanya pada kerugian negara tetapi lebih jauh lagi telah turut memperpanjang penderitaan rakyat yang ditandai dengan raibnya anggaran pembangunan masyarakat (APBD dan APBN). Dampak yang meluas dan sitematis korupsi ini juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat yang merupakan hak asasi manusia sebagai hak dasar, dan karena dapat digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau dalam artian sama dengan terorisme. Oleh karena itu, pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat lagi dilakukan dengan cara-cara biasa, tetapi dituntut dengan menggunakan cara-cara yang luar biasa dan konsisten serta berkelanjutan.

Korupsi di Sulawesi Tengah

Tindak pidana korupsi yang terjadi di Sulawesi Tengah Tahun 2006 sebanyak 32 Kasus, yang terdiri dari 12 kasus masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan kepolisian dan kejaksaan, 20 kasus dalam proses pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dimana 15 kasus telah mendapat vonis dari Pengadilan Negeri (PN), 3 kasus dalam proses banding di Pengadilan Tinggi (PT) Sulawesi Tengah dan kasasi Mahkamah Agung (MA) 2 kasus. Lihat tabel 1 dan 2

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Dari jumlah kasus yang telah mendapat vonis, 7 kasus diantaranya di vonis bebas (salah satunya kasus korupsi yang displit). Dari kasus korupsi yang diputus bebas, 5 kasus diantaranya diputuskan oleh Ketua Majels Hakim yang sama, yaitu M. Taufik, SH. Diantaranya :

  1. Korupsi dana Proyek Hutan Tanaman Unggulan Lokal (PHTUL) di Kabupaten Parigi Moutong Tahun 2003 sebesar Rp.1,6 Milyar, dimana aktor pelakunya adalah Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, Ir. Idris Makanyuma dan Ir. Ilham - Pimpinan pelaksana kegiatan (Pinlak) PHTUL. Kasus ini merupakan Split dari kasus korupsi yang sama dengan aktor pelaku Ir. Gunawan Purwanto yang sebelumnya sudah diputus bersalah oleh PN Palu pada proyek ini dan dijatuhi hukuman 2 (dua) tahun penjara, Bulan Maret 2005 Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah menguatkan dan menambah hukuman menjadi 5 (lima) tahun penjara.
  2. Korupsi dana APBD Parigi Moutong Tahun 2004 sebesar Rp 2,9 Milyar, dengan aktor pelakunya adalah 11 Anggota DPRD Kab. Parigi Moutong Periode Tahun 2002-2004.
  3. Korupsi dana extend advance dan over extend Bandara Mutiara Palu sebesar Rp. 981 juta dengan aktor pelaku Adi Kandrio (Kapala Bandara Mutiara Palu) dan Edi Purwanto (Kepala Seksi Kabandara Mutiara Palu)
  4. Korupsi dana pemekaran Kabupaten Morowali sebesar Rp. 2,9 Milyar dengan aktor pelaku Andi Muhammad (Bupati Morowali Non Aktif) Dan Said Unok ( Asisten Administrasi Pemkab Morowali).
  5. Korupsi dengan mengunakan SKSHH sebesar Rp 95 juta dengan aktor pelaku Mohammad Yusuf S.Pusadan, H. Mahbud Lantagi,SE, H.Ardin Lantagi dan Guntar Tampubolon.

Ada hal yang mearik dari kasus korupsi APBD Parigi Moutong dimana berkas perkaranya dibagi menjadi 2 berkas (displit). Berkasi pertama dengan 5 Anggota DPD Parigi Moutong dan berkas kedua 6 orang. Berkas pertama dan berkas kedua anggota majelis hakimnya berbeda walaupun ketua majelis hakimnya sama yaitu M. Taufik,SH. Pada berkas kedua ini salah satu anggota majelis hakimnya (Pahala Simajuntak,SH) berbeda pendapat dengan majelis hakim lainnya (disentin opinion) dan menganggap terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Demikian pula dengan kasus Korupsi dana pemekaran Kabupaten Morowali sebesar Rp.2,9 Milyar. Dari 5 Majelis Hakim, 2 anggota majelis hakim diantaranya yaitu Hastopo,SH, dan Ibrahim Palimo SH, melakukan disenting opinion dan menganggap bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Korupsi dana Pemekaran APBD Morowali, sementara 3 Hakim lainya yaitu M.Taufik,SH, Yohanes Panji,SH dan I Made Sukadana,SH, menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah melakukan tindak pidana Korupsi.

Perbedaan pendapat ini justru memperlihatkan bahwa antar majelis hakim punya pandangan yang berbeda dan secaa tidak langsung “menegaskan” bahwa penerapan aturan hukum yang formal (suatu tindakan dikatakan korupsi apabila ada peraturan yang dilanggar)[2] masih memiliki banyak kelemahan utamanya terhadap rasa keadilan masyarakat.

Kasus korupsi lainnya yang divonis bebas di pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) adalah :

  1. Korupsi dana APBD Kab. Banggai Kepulauan Tahun 2004 sebesar Rp.3,3 Milyar, dengan aktor pelaku anggota DPRD Kab. Banggai Kepulauan Tahun 2004.
  2. Korupsi dana jaminan hidup (Jadup)dan bekal hidup (Bedup), Bahan bangunan rumah (BBR) untuk pengungsi Poso Tahun Anggaran 2001- 2003 sebesar Rp 6 Milyar dengan aktor pelaku Mantan Kadis Sosial Propinsi Sulawesi Tenggah dan Mantan Plh Bupati Poso, Drs.Andi Azikin Suyuti,M,Si.

Vonis yang diberikan oleh pengadilan tingkat pertama (PN) terhadap kasus korupsi berfariasi, dimana ada 4 kasus divonis dibawah 1 Tahun, vonis 1-5 Tahun 4 kasus, vonis diatas 5 tahun 1 kasus dan putusan bebas 7 kasus, 19 kasus lainnya masih dalam proses di Pengadilan tingkat pertama. (lihat tabel 2).

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Pemberantasan tindak pidana korupsi di Sulawesi Tengah telihat masih berpihak kepada pelaku korupsi dibandingkan dengan keadilan masyarakat. Efek jera yang semestinya diperlihatkan oleh peradilan, justru hal tesebut tidak berdampak apa-apa, malah sebaliknya, terjadi peningkatan jumlah tindak pidana korupsi yang dapat dilihat dari pemberitaan media massa di Sulawesi Tengah, hal ini bertolak belakang dengan adanya 7 kasus korupsi yang divonis bebas oleh pengadilan tingkat pertama. Selain itu pula, putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) yang memberikan vonis hukuman penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi, tapi putusan tersebut tidak disertai dengan hukuman untuk menahan terdakwa (pelaku korupsi tidak ditahan di lembaga pemasyarakatan/rutan), tapi bebas berkeliaran dan masih menjalankan aktifitasnya sebagai anggota DPRD seperti, korupsi dana APBD Kab. Donggala dan Kab. Tolitoli tahun 1999-2004 yang telah divonis oleh pengadilan tingkat pertama. Putusan ini berdampak pada masyarakat, dimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga DPRD semakin menurun dan begitu-pun dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap peradilan dalam pemberantasan korupsi di Sulawesi Tengah.

Beberapa dugaan kasus korupsi tidak ”disentuh” oleh aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) yang telah dilapokan oleh masyarakat, diantaranya dugaan korupsi Bupati Kab. Tolitoli.[1] Walaupun intensitasnya pemberitakan pada media koran lokal di Sulawesi Tengah pada tahun 2006 cukup rutin dilakukan dan secara umum masyarakat Kab. Tolitoli menganggap bahwa Bupati Tolitoli Ma’ruf Bantilan telah melakukan tindak pidana korupsi pada tahun 2001-2004 pada pos anggaran belanja operasional (kasus ini termasuk yang tidak jelas penangananya), dimana jumlah hari dalam setahun melebihi jumlah kunjungan kerja dalam setahun. Disisi lain, ada beberapa dugaan korupsi Bupati Tolitoli lainnya, diantaranya dugaan korupsi dana proyek jembatan kampung pajala dan proyek jalan lingkar Tolitoli yang telah di SP3 oleh kejaksaan. Selain kasus korupsi dana operasional Bupati dan Wakil Bupati Tolitoli Tahun 2001-2004 yang tidak jelas penanganannya di kejaksaan ada beberapa kasus lainnya yang juga tidak jelas penanganannya, yaitu Dugaan korupsi pengadaaan 2 unit kapal fiberglass APBD Kab. Donggala TA 2005) yang diduga dilakukan oleh Bupati Donggala Tahun 2005 (kasus ini telah dilaporkan ke KPK pada Tahun 2006 oleh LPS-HAM)[2] dan dugaan korupsi dana pengungsi poso di Kab.Morowali Tahun 2001 yang di duga dilakukan oleh Sekretariat dan Dinas Sosial Kab. Morowali.

Jumlah kasus korupsi di Sulawesi Tengah di dominasi oleh lembaga eksekutif yaitu 16 kasus, legislative 6 kasus, swasta 4 kasus (1 kasus diantaranya juga melibatkan pihak eksekutif), BUMN/BUMD 3 kasus, KPUD 2 kasus dan koperasi 1 kasus serta pejabat kampus 1 kasus (lihat tabel 3). Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan aturan, seperti kasus korupsi dana kemanusiaan untuk poso. Dengan melihat realita dari kebusukan sektor pemerintahan (eksekutif dan legislative) dan sektor swasta karena korupsi hanya melahirkan kemiskinan, kebodohan dan ketidakberdayaan rakyat banyak. Korupsi yang terjadi karena perselingkuhan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi membuat semakin lebarnya jurang kesejahteraan.

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Walaupun kasus korupsi lebih banyak terjadi di eksekutif, akan tetapi jumlah aktor pelaku lebih banyak di legislative. Korupsi yang melibatkan legislatif merupakan korupsi yang dilakukan secara berjamaah. (lihat tabel 4).

s

Tabel 4: Aktor Pelaku

DPRD

113 Orang

Eksekutif

25 Orang

BUMN/BUMD

5 Orang

Koperasi

3 Orang

KPUD

2 Orang

Pejabat Kampus

1 Orang

Swasta

11 Orang

Korupsi yang terjadi membuat masyarakat Sulawesi Tengah tidak dapat merasakan hak-haknya sebagai warga Negara yang diatur dalam UUD 45 sebagai konstitusi Negara kita. Dari 32 kasus korupsi, 16 kasus diantaranya merupakan korupsi dana APBD, 15 kasus dana APBN dan 1 kasus dana pinjaman luar negeri (ADB). (lihat tabel 5).

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan korupsi yang terjadi di Sulawesi Tengah lebih dari Rp.106 Milyar yang berasal dari dana APBN, APBD dan pinjaman luar negeri (PLN), diamana 21 kasus diantaranya diatas satu milyar rupiah dan 11 kasus dibawah satu milyar rupiah.

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Jumlah kerugian Negara yang mungkin dapat diselamatkan dari kasus korupsi yang telah divonis bersalah oleh pengadilan walaupun masih dalam proses hukum pada tingkat banding dan kasasi di Mahkamah Agung lebih dari Rp.35 Milyar, sementara kerugian Negara yang tidak dapat diselamatkan karena putusan bebas oleh pengadilan adalah Rp.17 Milyar lebih, Rp.6,2 Milyar diantaranya adalah korupsi Anggota DPRD Parigi Moutong dan Banggai Kepulaun. Perkiraan kerugian Negara yang kasus korupsinya masih dalam persidangan tingkat pertama (PN) sekitar Rp.8 Milyar lebih dan perkiraan kerugian negara yang kasus korupsinya masih dalam proses penyelidikan/ penyidikan baik ditingkat kepolisian maupun kejaksaan sekitar Rp.46 Milyar lebih. Dari sini terlihat bahwa, dugaan kerugian Negara yang masih dalam proses penyelidikan/penyidikan masih lebih besar, bila dibandingkan dengan kerugian Negara yang dapat diselamatkan.

Dari Rp.35 Milyar lebih kerugian negara yang mungkin dapat diselamatkan, Rp.26 Milyar diantaranya dilakukan oleh anggota DPRD Donggala, Buol, Tolitoli dan Banggai, akan tetapi jumlah ini belum seluruhnya dikembalikan ke kas negara, seperti jumlah kerugian negara dalam kasus korupsi APBD Kab. Donggala dengan aktor pelaku anggota DPRD Donggala sebesar Rp.5,2 milyar lebih. Seluruh kerugian negara tersebut dilakukan secara berjamaah oleh seluruh anggota DPRD, sementara baru 11 orang anggota DPRD yang diajukan kepersidangan dan telah divonis. Demikian juga dengan anggota DPRD Tolitoli, Banggai dan Buol yang telah divonis bersalah oleh PN.

Dibutuhkan keseriusan aparat penegak hukum untuk melakukan proses selanjutnya bagi anggota DPRD lainnya yang belum diajukan kepersidangan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan para pejabat dan pengusaha di Sulawesi Tengah.

Modus Operandi Korupsi

Secara. umum modus korupsi APBD di Sulawesi Tengah berangkat dari penvusunan anggaran pada pos belanja Eksekutif dan Legislatif, dalam implementasinya bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, bentuknya-pun beragam.

Gambaran modus operandi korupsi dana APBD di Sulawesi Tengah yang banyak di sorot oleh media massa dan publik seperti dalam kasus korupsi APBD Kab. Donggala Talum 2001- 2004, yang melibatkan anggota DPRD periode 1999-2004, Korupsi APBD Kab. Buol Tahun 2000-2004 yang melibatkan anggota DPRD Buol, APBD Kab. Banggai Tahun 2004 yang melibatkan anggota DPRD Banggai, APBD Kab. Banggai Kepulauan Tahun 2004 yang milibatkan anggota DPRD Banggai Kepulauan, APBD Kab. Tolitoli Tahun 2000-2004 yang melibatkan anggota DPRD Tolitoli, APBD Kab. Morowali yang melibatkan Bupati Morowali.

Modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku korupsi di DPRD : pertama, yaitu menggelembungkan batas alokasi penerimaan anggota dewan (mark-up) karena tidak sesuai / bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Modus kedua yaitu menggandakan mata anggaran / berulang-ulang (redundant) terhadap item mata anggaran yang menjadi penerimaan anggota DPRD melalui berbagai strategi seperti memasukkan mata anggaran yang berbeda-beda dengan satu fungsi, misalnya ada item anggaran asuransi kesehatan untuk anggota DPRD, akan tetapi pada item anggaran lainnya terdapat anggaran tunjangan kesehatan yang diterima secara tunai. Padahal kedua item anggaran tersebut punya fungsi dan tujuan yang sama yakni anggaran untuk kesehatan anggota DPRD. Strategi lainnya adalah menitipkan item anggaran ysng menjadi pos penerimaan anggota DPRD pada anggaran sekretariat DPRD (eksekutif) seperti tunjangan kesejahteraan anggota DPRD, padahal item anggaran ini sudah ada pada item anggaran DPRD, sementara fungsi dan tujuannya adalah sama. Modus ketiga yaitu dengan cara menambah/mengadakan (membuat item anggaran baru) pos anggaran pada item penerimaan anggota DPRD yang sebenarnya tidak ditaur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penerimaan anggota DPRD. Item angaran ini seperti pos dana purnabakti yang diberikan kepada anggota DPRD yang direcal (diganti) oleh partainya dan juga anggota DPRD yang telah selesai masa tugasnya pada tahun 2004 kemarin. Modus keempat yaitu korupsi dalam pelaksanaan program anggota DPRD seperti korupsi dana operasional untuk kunjungan kerja anggota DPRD ke masyarakat ataupun untuk melihat hasil program eksekutif. Padahal perjalanan dinas tersebut tidak dilakukan (pertanggungjawaban fiktif).

Dari modus korupsi tersebut dianggap oleh anggota DPRD seolah-olah bukan tindakan korupsi karena telah dinaungi dalam sebuat Peraturan Daerah (Perda) yang legal. Padahal dari sisi materi peraturan, banyak terdapat penyimpangan, baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan dan kepatutan. Karena dinaungi oleh Peraturan Daerah, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau Peraturan Daerah yang melegalkan tindakan korupsi.

Secara lebih detail, modus korupsi dana APBD Kab. Donggala yang dilakukan oleh anggota DPRD Donggala periode 1999-2004, dimulai dari rangkaian penyusunan APBD Kab. Donggala Tahun Anggaran (TA) 2001, Komisi Rumah Tanggga (KRT) Kab. Donggala, menyusun konsep Rancangan Anggaran Belanja DPRD dan Sekretariat DPRD Donggala, yang di dalamnya dianggarkan untuk dibayarkan dalam bentuk uang tunai setiap bulan kepada anggota DPRD Donggala seperti Tunjangan Kesehatan, Tunjangan Perumahan, Tunjangan Pemakaian Telepon, Tunjangan Pemakaian Listrik, Tunjangan Pemakaian Air, Tunjangan Transportasi dan Tunjangan Kesejahteraan. Dalam pemberian tunjangan ini terjadi double mata anggaran/berulang-ulang (redundant) yaitu pada tunjangan kesehatan, tunjangan kesejahteraan dan kesejahteraan anggota dewan untuk mengambil keuntungan pribadi dan/atau kelompok melalui persetujuan kerjasama atau tidak dengan persetujuan kerjasama. [3]

Kemudian dalam rapat Komisi Rumah Tangga, konsep tersebut dibahas, dalam rapat tersebut bersama anggota Komisi Rumah Tangga lainnya menyetujui tanpa merubah konsep tersebut walaupun tunjangan-tunjangan tersebut tidak didasarkan/ menyimpang dari ketentuan Peraturan Pemerintah dengan maksud memperbesar jumlah penghasilan yang diterima anggola DPRD Donggala yang kemudian diajukan kepada Ketua DPRD Donggala yang selanjutnya dikirim kepada Bupati Donggala untuk dimasukkan dalam Rancangan APBD.

Selanjutnya setelah Rancangan Anggaran Belanja DPRD dan Sekretariat DPRD tersebut dibahas dalam Panitia Anggaran, anggota DPRD bersama-sama anggota Panitia Anggaran lainnya kembali turut menyetujui rancangan tersebut tanpa ada perubahan untuk dibahas dalam sidang paripurna DPRD. Dalam Sidang Paripurna DPRD, seluruh anggota DPRD Donggala menyetujui rancangan tersebut untuk ditetapkan dalam APBD Donggala sehingga setelah RAPBD tersebut ditetapkan dalam PERDA No 20 Tahun 2001 tanggal 27 Maret 2001 tentang APBD Kabupaten Donggala Tahun Anggaran 2001 dan Surat Keputusan Bupati Donggala No. 94 Tahun 2001 tanggal 27 Maret 2001 tentang Penjabaran APBD Tahun Anggaran 2001. Dalam Tahun Anggaran 2001 telah menerima pencairan anggaran belanja DPRD tersebut dalam bentuk uang tunai yang dipergunakan untuk membiayai kepentingan pribadi masing-masing anggota DPRD Donggala, dimana seluruh penganggaran dan realisasi pencairannya dibebankan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Donggala, sehingga Negara dan Masyarakat dirugikan yang seluruhnya sebesar Rp.5.293.350.000,- (lima milyar dua ratus sembilan puluh tiga juta tiga ratus lima ribu rupiah). Dari perbuatan tersebut kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan Pidana penjara selama 6 (enam) Tahun dikurangi selama mereka terdakwa dalam tahanan dengan perintah agar tetap ditahan dan denda masing-mahing sebesar Rp.100.000.000.- (seratus juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan, serta membayar uang pengganti, dan jika masing-masing terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta benda para terdakwa dirampas senilai uang penggantinya, dan jika harta bendanya tidak mencukupi dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu ) tahun.[4]

Demikian pula dengan korupsi APBD yang melibatkan anggota DPRD Tolitoli modus operandinya hampir sama dengan korupsi APBD Kabupaten Donggala, yaitu dengan cara mencantumkan mata anggaran yang peruntukannya sama secara berulang-ulang dengan maksud untuk mendapatkan/ mengambil dan atau menikmati keuntungan pribadi dan/ atau kelompok melalui persetujuan kerjasama dan atau tidak dengan persetujuan kerjasama yaitu pada pos anggaran biaya pemeliharaan kesehatan dengan memasukkan dua mata anggaran yaitu biaya general check up dan biaya asuransi kesehatan pimpinan dan anggota DPRD. Selain itu dibeberapa mata anggaran dilakukan tindakan yang dapat digolongkan kedalam tindakan manipulasi dan mark-up yang juga bertentangan dengan Perundang-undangan yang berlaku, seperti dana penunjang kegiatan, dana pcnunjang kegiatan komisi, lain-lain penunjang kegiatan, bantuan kelancaran tugas DPRD, bantuan kegiatan fraksi, biaya pelepasan/ pesangon Pimpinan dan Anggota DPRD, biaya asuransi untuk Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPRD, yang secara keseluruhan jumlah kerugian Negara sekitarRp. 11.972.582.676,-[5]

Ket : Penyerahan berkas dugaan korupsi Bupati & Wakil Bupati

Buol Tahun 2000-2004 tanggal 3 Januari 2006 di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah oleh LPS-HAM dan komponen masyarakat sipil lainnya di Sulawesi Tengah.

Dugaan korupsi Kabupaten Tolitoli ini telah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Tolitoli dan Pengadilan ditingkat banding (Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah). Para aktor pelaku melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung (sampai saat ini, 2006 belum ada kejelasan tentang putusan MA), begitu-pun dengan kasus korupsi APBD Kabupaten Donggala, Parigi Moutong dan Banggai serta Banggai Kepulauan.

Ditingkat eksekutif, juga terjadi korupsi yang dilakukan oleh Bupati, Wakil Bupati dan Kepala-Kepala Dinas/ Kantor. Modus korupsi dilakukan dengan cara manipulasi dan mark-up dana operasional, gaji pokok Bupati dan Wakil Bupati serta perjalanan dinas, misalnya, di Kab. Tolitoli dan Kab. Buol.

APBD Kab. Tolitoli dan Kab. Buol Tahun 2001-2004 pada item anggaran biaya operasional Bupati dan Wakil Bupati serta gaji pokok Bupati dan Wakil Bupati yang tidak sesuai dengan PP No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan PP No. 59 Tahun 2000 tentang Perubahan atas PP No.9/1980 tentang hak keuangan/ administratif Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah. Dengan kata lain bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan melawan Hukum dengan menganggarkan alokasi biaya yang tidak sesuai dan /atau bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dengan maksud untuk mendapatkan dan/ atau mengambil keuntungan pribadi atau kelompok dan./ atau persekongkolan karena kewenagan/ kedudukan yang dimilikinya sehihigga menyebabkan Negara dan masyarakat mengalami kerugian. Penetapan dan penggunaan anggaran ini juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hemat, efesien, dan keadilan kebutuhan untuk masyarakat serta kepatutan.

Sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Kab. Tolitoli, Buol dan Sulawesi Tengah pada umumnya, bahwa Bupati dan Wakil Bupati Tolitoli periode 1999-2004, Bupati dan Wakil Bupati Buol periode 1999-2004 telah melakukan tindak pidana korupsi APBD Tahun 2001-2004. Ini juga menjadi tuntutan masyarakat Tolitoli dalam setiap aksinya,baik di Kejari Tolitoli maupun di Kejati Sulteng.[6]

Secara garis besar modus operandi korupsi di eksekutif dilakukan dengan cara mak-up mata anggaran dan juga penyunatan mata anggaran tertentu, sedangkan korupsi dana APBD yang melibatkan anggota DPRD dibeberapa Kabupaten Sulawesi Tengah dilakukan dengan cara :

a. Melakukan maniputasi dengan memberikan dan atau mencantumkan mata anggaran yang peruntukannya sama secara berulang-ulang dengan maksud untuk mendapatkan/ mengambil dan atau menikmati keuntungan pribadi dan/ atau kelompok (pembiayaan yang melebihi dan disyaratkan oleh ketentuan yang berlaku/ Mark-up) melalui persetujuan kerjasama dan atau tidak dengan persetujuan kerjasama karena kewenangan dan atau kedudukan yang ada dimilikinya.

b. Tindakan melawan hukum dengan menetapkan dan atau menganggarkan alokasi anggaran yang tidak sesuai dan atau bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dengan maksud untuk mendapatkan dan atau mengambil keuntungan pribadi atau kelompok dan atau korporasi karena kewenangan/ kedudukan yang dimilikinya.

c. Menggunakan kewenangan atas jabatan atau karena kedudukan yang dimilikinya untuk memenuhi kepentingnn pribadinya dan atau kelompok atau sualu korporasi.

d. Menetapkan dan mengesahkan jumlah alokasi anggaran yang melebihi batas ketentuan yang disyaratkan dengan maksud untuk mendapatkan dan atau mengambil keuntungan pribadi atau kelumpok dan atau korporasi karena kewenangan/ kedudukan yang dimilikinya.

e. Perencanaan, penyusunan, penggunaan serta pengawasan dan pertanggungjawaban APBD yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak mempertimbangkan asas keadilan dan kepatutan yang menyebabkan terjadinya penyimpangan/ penyelewengan APBD.

f. Penetapan dan penggunaan anggaran yang tidak berdasarkan kepada prinsip- prinsip hemat, tidak mewah, efesien dan keadilan kebutuhan untuk masyarakat serta kepatutan.

g. Mengalihkan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Modus Korupsi Dana Kemanusiaan Kontlik Poso

Dalam kasus korupsi dana pemulangan pengungsi poso dengan aktor pelaku Mantan Gubernur Sulawesi Tengah Prof (Em) Drs. Hi. Aminuddin Ponulele,M.Si dan Mantan Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Tengah dan mantan Plt Bupati Poso Drs. Hi. Andi Azikin Suyuti,M.Si. Modus operandinya dilakukan dengan cara :

1. Pada bulan Nopember tahun 2001, Drs. Hi. Andi Azikin Suyuti,M.Si. Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Sulawesi Tengah bersama-sama dengan Prof. (Em) Drs. Hi. Aminuddin Ponulele,M.Si Ketua Satkorlak PBP Sulteng telah membuka rekening atas nama Satkorlok PBP Sulawesi Tengah pada Bank BNI Cabang Palu dengan rekening Nomor: 2222.007.319.620.001 dengan spesiment tandatangan atas nama Prof. (Em) Drs. Hi. Aminuddin Ponulele,M.Si dan Drs. Hi. Andi Azikin Suyuti,M.Si untuk menampung dana dari Departemen Sosial Rl guna kebutuhan Pengungsi akibat kerusuhan Poso, padahal dalam Susunan Organisasi Satkorlak PBP Sulawesi Tengah sesuai dengan Keputusan Ketua Satkoriak PBP Sulawesi Tengah Nomor: KEP 360/008/SATKORLAK PBP SULTENG tanggal 24 Nopember 2001 tidak ada jabatan bendahara dan Drs. Hi. Andi Azikin Suyuti,M.Si tidak termasuk dalam Susunan Organisasi Satkorlak PBP Sulawesi Tengah.

2. Pertanggung jawaban Pengunaan dana ke KPKN Palu tidak sesuai dengan mata anggaran yang tertuang dalam SKU Nomor : 492/ WA.X1/PK.01/2001 tanggal 4 Desember 2001 dan tidak sesuai dengan Petunjuk Operasionalnya.

3. Penunjukkan Langsung Pekerjaan Transportasi Pemulangan Pengungsi tidak melaksanakan tugas menyeleksi rekanan, karena nama rekanan yang akan melaksanakan Pekerjaan Transportosi Pemulangan Pengungsi tahun 2001 telah ditentukan oleh pemerintah daerah poso (Plt Bupati Poso Tahun 2001).

4. Membuat dan menandatangani kelengkapan Dokumen-dokumen Fiktif untuk pertanggung jawaban pelaksanaan pekerjaan.

5. Adanya penandatanganan Berita Acara Pemulangan Penggungsi Nomor: 6/BAPP/SOS/VII/2002 tanggal 31 Juli 2002, padahal Berita Acara Pemulangan Penggungsi tersebut dibuat secara tidak benar yang isinya menyatakan bahwa pihak Pelaksana kegiatan telah menyerahkan kepada pihak Dan Satgas Sos Pemulangan Pengungsi konflik Poso di wilayah Kabupaten Morowoli dan sekitarnya sebanyak 1125 KK/5625 Jiwa, seakan-akan pekerjaan tersebut telah diserah terimakan sesuai dengan Berita Acara tersebut, padahal pekerjaan tersebut sama sekali tidak pernah diserahkan kepada Dan Satgas Sos Pemulangan Pengungsi konflik Poso;

6. Perbuatan yang dilakukan oleh aktor pelaku korupsi dana pemulangan pengungsi posos tidak sesual dengan Petunjuk Operasional Penanggulangan Bencana Soslal Sulawesi Tengah. Undang- undang Nomor 9 tahun 1968 tentang Perbendaharaan Indonesia Pasal 74, Pasal 75. Pasal 77, Pasal 88 Keputusan Preslden RI Nomor 17 tahun 2000 tentang APBN Pasal 41 ayat (4) Pasal 42 dan Pasal 57 ayat (2) dan Keputusan Presiden R.I No. 18 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah. Dari perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp.1.258.750.000,00. (Satu milyar dua rarus lima puluh delapan juta fujuh ratus lima puluh ribu rupiah)[7] atau sekitar jumlah itu.

Modus korupsi dana bantuan kemanusian poso lainnya dilakukan dengan berbagai macam cara diantaranya[8] : (1). Bantuan untuk korban konflik poso tidak diberikan kepada yang berhak (salah sasaran). Hal ini ditandai dengan masih banyaknya korban yang diketahui belum menerima dana santunan meski mereka sebenarnya telah memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan Pemerintah, seperti dana lauk pauk tanggap darurat, biaya jaminan hidup dan bekal hidup (jadub-bedup), dana pemulangan pengungsi, bantuan perbaikan rumah atau bahan baku rumah (BBR). (2). Mark-up jumlah pengungsi korban konflik poso. Misalnya, dalam satu Desa yang pada tahun 2000 jumlah Kepala Keluarga hanya sejumlah 178. Kemudian pada tahun 2001 jumlah KK menurut Depsos Kab. Poso adalah 375 kepala keluarga (KK) yang berhak menerima jadup/ bedup. Hal ini tidaklah mungkin daiam kurung waktu 1 tahun jumlah KK bertambah 197 yang sementara pada saat itu sedang terjadi konflik. Adanya pengelembungan (mark-up) jumlah kepala keluarga karena disebabkan oleh :

  1. Beberapa Nama kepala keluarga (KK) terdaftar dua kali.
  2. Beberapa Nama kepala keluarga (KK) bukan warga. masyarakat desa Patiwunga bahkan nama-namanya tidak dikenal.
  3. Beberapa Nama kepala keluarga (KK) yang tercatum telah meninggal dunia.

(3).Pengendapan dana untuk korban konflik poso. Modus korupsi ini dilakukan dengan cara mengendapkan dana jadup/ bedup dan atau tidak mendistribusikan serta. sengaja atau tidak disengaja menunda pembayaran dana jadup/ bedup untuk mendapatkan/mengambil dan/atau memikmati keuntungan pribadi dan/ atau kelompok melalui perstujuan kerjasama dan atau tidak dengan persetujuan kerjasama yang menyebabkan masyarakat koeban dan Negara mengalami kerugian. (4). Pemotongangan dana bantuan untuk korban konflik Poso. Modus korupsi ini dilakukan oleh tim penyaluran/ distribusi, dengan cara melakukan pemotongan dana yang jumlahnya tidak sesuai dengan kertas blanko pembayaran yang ditandatangani oleh masyarakat penerima bantuan. (5). Mengendapkan dan atau menunda pemberian hak santunan keluarga korban untuk mendapatkan/ mengambil dan atau menikmati keuntungan pribadi dan/ atau kelompok melalui persetujuan kerjasama dan atau tidak dengan persetujuan kerjasama yang menyebabkan masyarakat korban dan negara mengalami kerugian.

Dari beberapa modus operandi diatas, dengan jelas mengambarkan bahwa telah terjadi penyelewengan keuangan negara (APBN dan APBD). Penyelewengan ini terjadi mulai dari proses penyusunan anggaran hingga implementasi, hal ini terjadi dikarenakan masih lemahnya pengawasan masyarakat atas proses pengawasan anggaran. Lemahnya pengawasan masyarakat juga berkaitan erat dengan transparansi penyusunan sampai pada pelaksanaan anggaran yang bersumber dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan hanya dijadikan syarat saja seperti dalam Musrembang Desa/ Kelurahan sampai musrembang Kabupaten dan Propinsi, akan tetapi substansi dari keterlibatan masyarakat yang berkaitan dengan partisipasi dan transparansi belum terlihat dengan jelas, utamanya dalam aspek pengawasan masyarakat. Sementara pengawasan internal dari pemerintah sendiri tidak berjalan dengan baik. BPKP dan BPK belum cukup efektif melakukan fungsinya dalam melakukan audit penggunaan keuangan Negara/ Daerah, hal ini terlihat dari modus operandi yang dilakukan secara berulang-ulang dalam setlap tahunnya.

Sebagai penutup, kiranya dapat dikatakan bahwa ada permasalahan dibidang kontrol/ pengawasan yang lemah dan menyebabkan terjadinya korupsi. Pengawasan internal yang selama ini dilakukan melalui BPK, BPKP dan Bawasada serta lembaga pengawas lainnya yang dibuat oleh Pemerintah terbukti tidak efektif menekan tindakan korupsi diperparah lagi dengan korupsi yang terjadi sudah sedemikian sistemik. Korupsi banyak terjadi dilembaga-lembaga pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat, maka masyarakat sudah seharusnya dilibatkan secara penuh dalam mekanisme kontrol. Disisi lain, dibutuhkan penguatan ditingkat masyarakat untuk mengorganisir dirinya dan sadar akan hak-haknya serta melakukan perlawanan ketika hak-haknya dinjak-injak, utamanya perlawanan terhadap tindakan dan perbuatan korupsi yang dimulai dari diri masing-masing orang.



[1] Laporan dugaan korupsi APBD Kab. Tolitoli Tahun 2001-2004 yang dilaporkan ke Kajati Sulteng tanggal 7 Oktober 2004 oleh LPS-HAM, HIPMIT Tolitoli dan Palu, Koalisi Rakyat Menggugat (KRM).

[2] Laporan dugaan korupsi pengadaan 2 unit kapal fiber glass oleh Pemda Donggala yang dilaporkan LPS-HAM ke Kejaksaan Agung RI tanggal 5 April 2006 dan tanggal 22 Juni 2006 dilaporkan ke KPK oleh Asriady Bachri (Tanda terima laporan dugaan koupsi pengadaan 2 unit kapal fiber glass oleh Pemda Donggala oleh KPK)

[3] Laporan Korupsi APBD Donggala yang dilaporkan oleh Koalisi Rakyat Menggugat Suawesi Tengah Tangal 14 September 2004, dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum 14 Juli 2005.

[4] Surat tuntutan JPU Kejari Donggala No. Reg Perk : PDS-05/DONGGFt.1/12/2004.

[5] Laporan dugaan Korupsi APBD TA 2001-2004 Kab. Tolitoli, LPS-HAM, Hipmit Tolitoli, Hipmit Palu dan Koalisi Rakyat Menggugat , 7 Oktober 2004.

[6] Laporan adanya konspirasi KKN Pemerintah Daerah dan DPRD dalam pelaksanaan pembangunan Kab. Tolitoli oleh Husni Abdullah Bakayer,SH yang telah dilaporkan kepada Kepolisian Resort Buol Tolitoli tanggal 16 Juni 2003, Laporan dugaan korupsi APBD Kab. Tolitoli Tahun 2001-2004, CWC LPSHAM, Hipmit Tolitoli dan KRM yang telah dilaporkan ke Kejati Sulteng tanggal 7 Oktober 2004, Laporan dugaan korupsi APBD Buol Tahun 2000 - 2001 dan 2003 - 2004 oleh Lespek Buol, CWC LPSHAM danKRM-Dilaporkan kepada Kejati Sulteng pada tanggal 21 Desember 2004, Laporan Korupsi Bupati dan Wakil Bupati Kab. Buol periode 1999-2004 yang dilaporkan oleh LPSHAM ke Kejati Sulteng tanggal 3 Januari 2006 seta Media local Nuansa Pos, Radar Sulteng 2004-Oktober 2006.

[7] Dakwaan JPU terhadap terdakwa Hi. Andi Azikin Suyuti, M.Si yang dibacakan pada tanggal 19 Desember 2006 di PN Palu

[8] Ringkasan laporan dugaan korupsi Dana kemanusiaan konflik Poso Sulawesi Tengah “Konflik telah menyuburkan korupsi di bumi sintuwu maroso Poso” LPSHAM Sulteng Tanggal 31 Mei 2005.


[1] Dibuat sebagai refleksi penanganan kasus korupsi di Sulawesi Tengah sepanjang Tahun 2006. Penulis adalah Anggota Perkumpulan Evergreen Indonesia, Anggota KontraS Sulawesi dan Volunter di LPS-HAM Sulteng

[2] Salah satu pertimbangan majelis hakim dalam membeikan putusan bebas kepada terdakwa anggota DPRD Parigi Moutong.

PERKEMBANGAN KASUS

MONITORING KASUS KORUPSI DI SULTENG

Triwulan Pertama : Januari 2007 s/d Maret 2007

Agus Darwis

Devisi Monitoring dan Advokasi LPS-HAM Sulteng

1. Tindak pidana korupsi di Sulawesi Tengah yang terjadi dan mendapat perhatian media massa dan juga masyarakat Sulawesi Tengah pada bulan Januari 2007 sampai dengan bulan Maret 2007 ada sebanyak 11 kasus, yang terdiri dari 1 kasus dalam audit Bawasda, polisi 2 kasus, Kejaksaan 4 kasus dan Pengadilan Negeri 4 kasus.

2. Sementara kasus korupsi yang terjadi pada tahun sebelumnya yang masih dalam proses penyelidikan/penyidikan 2 kasus dan 1 kasus dinyatakan bukan merupakan tindak pidana korupsi akan tetapi hanya kesalahan adminitrasi (hasil penyelidikan dan penyidikan kejati sulteng). Untuk kasus yang juga terjadi pada tahun sebelumnya dan tidak ada kejelasan tentang proses penanganannya yaitu ada sekitar 6 kasus.

Tabel : Kasus korupsi 2006 yang sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan/penyidikan

No

Nama Kasus

Keterangan

Penyelidikan/Penyidikan

Tidak Jelas

Bukan Tindak Pidana Korupsi

1.

Korupsi Dana APBD Kab. Buol Tahun 2000-2004 (Mark-Up Anggaran Penunjang operasional Bupati&Wakil Bupati, Belanja lain lain, Mark-Up gaji pegawai). Keterangan : Taggal 21 Desember 2004 telah dilaporkan ke Kejati Sulteng oleh Lespek Buol, KRM, CWC LPSHAM dan Tanggal 3 Januari 2006 telah dilaporkan kembali oleh LPSHAM di Kejati Sulteng. Sementara proses penyelidikan dan penyidikannya tidakjelas

V

2

Korupsi Dana Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kab. Banggai (APBN)

V

3

Korupsi dana proyck Block Grant Dinas Pendidikan dan Pengajaran Sulteng Tahun Aggaran 2003-2005 (DAK-APBN)

V

4

Korupsi dana otonomi kampus Universitas Tadulako (APBN)

V

5

Korupsi pengadaaan 2 unit kapal fiberglass APBD Kab. Donggala TA 2005

V

6

Korupsi dana bencana alam (APBN) di Kab. Donggala T.A 2004/2005

V

7

Korupsi dana APBD Kab. Tolitoli Tahun 2001-2004 untuk dana operasinal Bupati dan Wakil Bupati dan perjalanan dinas

V

8

Korupsi dana APBD untuk retribusi sampah Kota Palu Tahun 2005/2006

V

9

Korupsi dana pengungsi poso di Kab.Morowali Tahun 2001 (APBN) Keterangan : Kasus yang pernah dilaporkan oleh Komite Bersama Pemuda Morowali-KBPM, Alamsyah Nonci,SE) dan dilaporkan di Polres Morowali.

V

3. Berdasarkan sumber dana yang di korupsi yang mendapat perhatian public selama kurun waktu Januari 2007 s/d Maret 2007 yaitu 64% bersumber dari dana APBN dan 36% bersumber dari APBD atau 7 kasus yang dananya bersumber dari APBN dan 4 kasus APBD.

4. Jika dilihat dari jumlah dana yang dikorupsi, sekitar 36% dibawah Rp.1 milyar dan 64% diatas satu milyar. Kasus yang jumlahnya dananya dibawah Rp. 1 M yaitu ada 4 kasus dan diatas 1 M ada 7 kasus. Lihat Figure 3.

5. Tindak pidana korupsi yang terjadi di Sulawesi Tengah dilakukan oleh beberapa pihak berdasarkan posisi pelaku yaitu : 55% dilakukan oleh pihak eksekutif, Pejabat kampus 6%, KPUD 11%, Swasta/pengusaha 17% dan Koperasi 11%. Dari data ini terlihat dengan jelas bahwa kurun waktu Januari 2007-Maret 2007 Tindak pidana korupsi dominant dilakukan oleh pihak eksekutif.

Pelaku

Jumlah Kasus

Eksekutif

10

Legislatif

0

BUMN

0

Pjbt Kampus

1

KPUD

2

Swasta/Pengusaha

3

Koperasi

2

6. Jumlah kasus yang sampai saat ini masih dalam proses di aparat penegak hukum yaitu pada tingkat penyelidikan dan penyidikan sebesar 64% dan 36% pada pengadilan tingkat pertama, atau ada 7 kasus yang sampai dengan bulan Maret 2007 masih dalam proses penyelidikan/penyidikan dan ada 4 kasus pada tingkat pengadilan negeri.

7. Jumlah kasus berdasarkan putusan yaitu :

a. Masih dalam proses 9 Kasus.

b. Putusan PN kurang dari 1 tahun tidak ada

c. Putusan PN 1-5 Tahun 1 Kasus

d. Putusan PN diatas 1 tahun tidak ada.

e. Putusan PN bebas tidak ada.

8. Jumlah pelaku berdasarkan posisi pelaku :

Pelaku

Jumlah Pelaku

Eksekutif

17

Legislatif

0

BUMN

0

Pjbt Kampus

1

KPUD

3

Swasta/Pengusaha

3

Koperasi

3

Jika dipersentasekan maka eksekuti yang memiliki persentase yang paling besar, lihat figure 7.

Data : Agus Darwis

Devisi : Monitoring dan Advokasi LPS-HAM Sulteng

Laporan Triwulan I : Januari 2007 s/d Maret 2007