Selamat Datang

STOP KORUPSI, STOP MARKUS, STOP SUAP, STOP KONGKALINGKONG. START TO CLEAN YOUR LIF

BERANTAS KORUPSI

BERANTAS KORUPSI
STOP KORUPSI, STOP MARKUS, STOP SUAP, STOP KONGKALINGKONG. START TO CLEAN YOUR LIF

Rabu, 13 Januari 2010

KETIMPANGAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Persoalan perburuhan dari tahun ke tahun semakin kompleks dan memprihatinkan. Berbagai pelanggaran hak buruh terus saja terjadi dan seolah tidak dapat dihentikan. Dalam situasi ini kaum buruh seperti tidak punya pilihan lain salain menerima segala bentuk pelanggaran terhadap haknya tanpa bisa mengajukan penolakan dan atau mempertahankan martabat kehidupannya sebagai manusia yang seharusnya diperlakukan setara sama dengan manusia lainnya dalam segala aspek kehidupan.

Jam kerja yang panjang, upah rendah, upah lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang, tidak adanya Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), sistim buruh kontrak (out sourching), pemutusan hubungan kerja (PHK), diskriminasi gender sampai pada depolitisasi, masih merupakan realitas yang mengiringi hari-hari buruh. Deretan soal-soal seperti ini menjadi jejak penjelas, bahwa memang masalah perburuhan bukanlah masalah yang ringan. Akar soalnya ada di hubungan industrial yang anti demokrasi.

Berbagai pelanggaran hak kaum buruh masih saja terus berlanjut sampai saat ini. UU No 13/ 2003 tentang Ketenakerjaan yang lahir pada era reformasi belum sepenuhnya mencerminkan semangat reformasi, beberapa pasal yang ada di dalamnya justru semakin membuat posisi buruh semakin tertekan dan tidak berdaya. Undang-undang ini justru melegalkan sistim buruh kontrak dan out sourching, dimana undang-undang ini telah menjadikan alasan kuat bagi pengusaha untuk memberlakukan sistim buruh kontrak tanpa memperhatikan syarat-syarat boleh atau tidaknya pengusaha menerapkan sistim kerja kontrak. Sistim buruh kontrak telah menghilangkan hak-hak dasar buruh, karena dalam prakteknya buruh tidak mendapatkan hak-hak dasar yang lain selain upah. Hal ini telah menjadi pemicu utama atas terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak kaum buruh seperti; penghalang-halangan kebebasan berserikat, tidak adanya cuti, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa pesangon, upah yang tidak sesuai dengan UMP.

Salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran ini adalah lemahnya pengawasan dari dinas terkait dan tidak adanya sanksi tegas atas pelanggaran yang terjadi. Tentu saja kondisi yang yang menimpa kaum buruh saat ini harus segera dihentikan

2.6.1. Upah Minimum Propensi (UMP/UMK)
Upah Minimum Propensi (UMP) adalah hak dasar buruh yang dan merupakan kewajiban pengusaha untuk memenuhinya. Jika merujuk pada amanat Undang-undang nomor 13/2003, maka penetapan UMP harusnya berada di atas standar kebutuhan hidup minimum. UMP Suteng masih berada di bawah kebutuhan hidup minimum. Kebutuhan hidup minimum (KHM) di daerah ini tahun 2009 berdasarkan hasil survey pasar adalah sebesar Rp 825.000.00, sementara upah minimum propensi (UMP) tahun 2009 yang ditetapkan dengan SK Gubernur hanya sebesar Rp 720.000.00.
Ini artinya hanya untuk memenuhi kebutuhan minimumnya pun, upah buruh sudah minus Rp 80.000.00 per bulannya. Di sisi lain, buruh juga didesak dengan berbagai kebutuhan yang lain seperti; biaya kesehatan,biaya pendidikan anak,biaya perumahan dan lain-lain. Upah minimum yang rendah ini pun tidak serta merta dipenuhi oleh pengusaha, bahkan beberapa pengusaha telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena buruhnya menuntut upah yang sesuai dengan UMP. Dari 2300 perusahaan yang ada di Sulteng dan 900 dari jumlah tersebut berada di Kota Palu tidak lebih dari setengahnya yang menerapkan UMP . Ironisnya, tidak satupun perusahaan yang tidak menerapkan UMP ini mendapat sanksi atas pelanggaran tersebut.
2.6.2. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)
Salah satu yang menjadi hak dasar buruh adalah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), yang meliputi; Jaminan pemeliharaan kesehatan, Jaminan kecelakaan kerja, Jaminan kematian dan Jaminan hari tua. Berdasarkan UU No. 3/1992 tentang Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa; Setiap tenaga kerja berhak atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Jika Jamsostek merupakan hak bagi setiap pekerja/buruh, maka secara otomatis setiap perusahaan mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan pekerja/buruhnya menjadi peserta Jamsostek. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 17 undang-undang no 3 tahun 1992 tentang Jamsostek bahwa; Pengusaha wajib mengikut sertakan pekerja/buruhnya dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Namun hingga pada akhir tahun 2009 ini hanya 661 perusahaan yang menjadi peserta aktif dalam program Jamsostek dengan jumlah buruh yang menjadi anggota 19.393 orang. Jumlah ini tidak sampai setengah dari 2300 perusahaan yang ada di Sulteng .
2.6.3. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Dari hasil investigasi dan penanganan kasus yang dilakukan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat Sulawesi Tengah (PBHR Sulteng), dari awal hingga akhir tahun 2009 ini, tercatat ada enam perusahaan di wilayah kota Palu yang telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Umumnya PHK dipicu hanya karena buruh menuntut pemenuhan hak-hak normativenya.

TINGKAT KDRT & KEKERASAN ANAK SEMAKIN MENINGKAT

Berdasarkan data laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masuk pada KPPA Sulteng tahun 2009, khususnya pada kasus KDRT yang mendominasi adalah penganiayaan fisik sebanyak 23 kasus dan 20 kasus penelantaran ekonomi yang ternyata penanganannya masih cukup sulit.

Respon masyarakat umum bahkan korban sendiri menyulitkan upaya pendampingan. Masyarakat umum masih memandang KDRT adalah masalah keluarga yang harus diselesaikan sendiri oleh suami ataupun istri. Di pihak korban sendiri merasa berdosa melaporkan pelaku pada polisi karena masih menganggap akan terbuka aib keluarga atau bahkan oleh pihak keluarga laporan polisi dicabut kembali karena pertimbangan aib tadi.

Di sisi lain sistim peradilan kita (kepolisian, jaksa dan kehakiman/ peradilan) serta pemerintah daerah masih lemah dan belum terbangun kepekaan terhadap berbagai tindak kekerasan yang di alami oleh perempuan dan anak. Ditambah lagi perilaku aparat penegak hukum juga melecehkan posisi korban. Sementara kehadiran Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) pada kepolisian baik Kota, Kabupaten dan Provinsi sangatlah diharapkan mampu berperan maksimal dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terutama KDRT dan Non KDRT. Sehingga pandangan negatif terhadap pemerintah daerah khususnya P2TP2A dan kepolisian selama ini dapat ternetralisir dengan melakukan upaya pelayanan yang lebih baik dan maksimal terhadap kasus korban kekerasan perempuan dan anak.

Kasus kekerasan yang dilaporkan dan ditangani oleh KPPA Sulteng sepanjang tahun 2009 terjadi di dalam rumah tangga (KDRT) dalam bentuk penganiayaan fisik, penelantaran ekonomi, kekerasan psikologis. Sementara kasus Non KDRT di antaranya dalam bentuk kekerasan seksual dalam hubungan pacaran yang mengakibatkan korban hamil, perdagangan manusia (trafficking), penganiayaan fisik anak pembantu rumah tangga oleh majikan dan hak asuh anak.

Data laporan korban kekerasan KDRT dan Non KDRT yang masuk di KPPA Sulteng sepanjang tahun 2009 sebanyak 63 kasus di tujuh Kabupaten dan Kota Palu. Jenis kasus KDRT yang pada umumnya banyak menimpa para korban adalah penganiayaan fisik 23 kasus dan penelantaran ekonomi 20 kasus.

Tabel .1 Kasus KDRT dan NON KDRT di Sulteng
Periode Januari – Desember 2009
No. Wilayah Jumlah Kasus Jumlah Total
KDRT Non KDRT
1. Kota Palu 33 Kasus 11 Kasus 44Kasus
2. Kab. Sigi 8 Kasus 3 Kasus 11Kasus
3. Kab. Donggala 3 Kasus 1 Kasus 4 Kasus
4. Kab. Parimo 1 Kasus - 1 Kasus
5. Kab. Buol - - -
6. Kab. Tolitoli 1 Kasus - 1 Kasus
7. Kab. Morowali 1 Kasus - 1 Kasus
8. Kab. Banggai 1 Kasus - -
Jumlah Total 48 Kasus 15 Kasus 63 Kasus

Tabel.2 Jenis Kasus KDRT dan Non KDRT
Periode Januari - Desember 2009
No. Jenis Kasus Jumlah Kasus Jumlah Total
1. KDRT
Penganiayaan Fisik 23 Kasus
Penganiayaan Fisik Anak 2 Kasus
Penelantaran Ekonomi 20 Kasus
Kekerasan Psikologis 5 Kasus
Pencegahan Perkawinana 1 Kasus
Cerai Talak 2 Kasus
Jumlah 53 Kasus
2. Non KDRT
Hamil diluar Nikah 5 Kasus
Pemerkosaan dan Pencabulan Anak 2 Kasus
Peralihan Agama 1 Kasus
Hak Asuh Anak 3 Kasus
Traficking 3 Kasus
Biaya Kesehatan 2 Kasus
Penganiayaan Fisik 1 Kasus
Anak Hilang 2 Kasus
Jumlah 19 Kasus
Jumlah Total Jenis Kasus KDRT dan Non KDRT 72 Kasus

Dari semua kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak seperti tabel di atas, berdasar pengalaman KPPA Sulteng dalam mendampingi korban kekerasan menunjukan para pelaku kekerasan umumnya para suami, ayah, pacar, majikan rumah tangga, perusahaan jasa tenaga kerja dan aparat penegak hukum. Kenyataan ini membuat kita miris karena para pihak yang seharusnya diberi kepercayaan melindungi perempuan dan anak justru malah bertindak sebagai pelaku kekerasan.

KONFLIK SUMBERDAYA ALAM

Konflik agraria atau konflik kepemilikan tanah di wilayah Sulawesi Tengah, menjadi teman akrab bagi masyarakat dalam pemanfaatan tanah sebagai sumber mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tanah dapat diibaratkan sebagai nyawa kedua bagi masyarakat.

Pada konflik agraria di Sulawesi Tengah berlatar belakang soal masyarakat dengan perusahaan, baik local, nasional maupun internasional. Bahkan tidak jarang masyarakat harus berhadapan dengan pemerintah. Kondisi latar belakang konflik agraria dipicu dari (1) status kepemilikan, (2) konflik tapal batas, dan (3) penetapan dan penerapan kebijakan Negara.

Rekaman kasus
Kasus-kasus agraria yang masuk ke Pengadilan Negeri Palu lebih banyak menyeret masyarakat dengan tuduhan perambahan hutan di wilayah Taman Nasional Lore Lindu. Ini dapat dilihat dari dua kasus, yang pertama kasus dengan dakwaan yang menyeret seorang warga Desa Watumaeta Kecamatan Napu Kabupten Poso dan kasus lainnya melibatkan enam orang warga Desa Tomado Kecamatan Napu Kabupaten Poso . Hasilnya, masyarakat dinyatakan bersalah telah melakukan perambahan hutan di wilayah TNLL.

Konflik agraria yang tidak masuk ke ranah pengadilan (non litigasi) pun tidak kalah “sadisnya” dengan kasus yang sudah diputus oleh pengadilan. Sebut saja kasus perampasan lahan oleh perkebunan sawit maupun oleh perusahan nasional. Kasus perampasan lahan masyarakat terjadi di tiga kabupaten yakni Kabupaten Poso, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Luwuk-Banggai.

Di wilayah Kabupaten Poso terdapat satu kasus konflik kepemilikan lahan antara warga Desa Peura Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso dengan PT. Bukaka (Pembangunan Tower Sutet untuk PLTA Sulewana). Konflik ini berawal ketika PT. BUKAKA hendak membangun tower sutet di tengah perkampungan warga. Awalnya tower tersebut akan dibangun di luar perkampungan warga, akan tetapi dengan alasan untuk menghemat biaya operasional maka PT. BUKAKA memindahkan pembangunan tower sutet tersebut.

Pada proses penanganannya masyarakat telah dua kali melakukan hearing bersama pihak PT. BUKAKA, anggota DPRD Kabupaten Poso, Bupati Poso dan SKPD yang berkaitan dengan kepentingan didirikannya PLTA Sulewana. Hasilnya, diperoleh kesepakatan bahwa PT. BUKAKA bersedia membangun tower sutet di luar pemukiman warga atau pembangunan kembali pada lokasi awal tower sutet dan pihak DPRD Kabupaten Poso mendesak agar Bupati Poso melakukan pertemuan dengan warga Desa Peura untuk membicarakan keinginan warga. Namun sampai akhir tahun 2009, kesepakatan hearing tersebut tidak terlaksana.

Untuk wilayah Kabupaten Morowali Terdapat empat kasus konflik kepemilikan lahan, antara lain; (1) konflik kepemilikan lahan antara warga Desa Taripa dengan PT. Sawit Jaya Abadi, (2) konflik antara warga desa Taliwan dan warga Desa Tomata dengan PTPN XIV, (3) konflik antara warga Desa Peonea dengan PT. Rimbunan Alam Sentosa, (4) konflik antara warga Desa Lanumor dengan PT. Rimbunan Alam Sentosa. Perlu diketahui bahwa PT. Sawit Jaya Abadi dan PT. Rimbunan Alam Sentosa merupakan anak perusahaan dari PT. Astra Agro Lestari Grup .

Untuk wilayah kabupaten Luwuk-Banggai terdapat enam kasus penggusuran yang terjadi di Desa Agro Estate, Desa Singkoyong, Desa Benteng, Desa Tou, Desa Moilong, Desa Kayuku yang dilakukan oleh PT. Kurnia Luwuk Sejati (PT. KLS). Penggusuran tanah warga dilakukan oleh PT. KLS untuk mendirikan perkebunan sawit.

Konflik antara masyarakat dengan PT. KLS kembali terjadi khususnya di Desa Piondo, Desa Bukit Jaya, Desa Mekar Sari Kabupaten Luwuk-Banggai. Konflik ini berkaitan dengan alih fungsi dari Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi perkebunan kelapa sawit.

MENAPAK SEPAK TERJANG WAKIL RAKYAT TERPILIH 2009

Jika ditelaah, seolah tidak ada perubahan luar biasa yang dilahirkan dari peran anggota parlemen produk Pemilu 2004-2009. Jika pun ada catatan-catatan tersebut hanya melekat di setiap anggota palemen. Semuanya berjalan biasa saja. Mengikuti deret prosedur pelaksanaan fungsi-fungsi kedewanan. Sebut saja misalnya, dalam pembahasan APBD. Dari tahun ke tahun proses ini berjalan normal-normal saja. Tetap saja desakan untuk memutus mata rantai pemborosan anggaran dengan memangkas anggaran yang tidak efektif, mark up, pembangunan yang tidak sesuai kebutuhan mendesak rakyat, dll, tidak terartikulasikan dalam APBD. Atau upaya-upaya penggunaan hak angket dan interpelasi terhadap kasus-kasus tertentu. Sebut saja misalnya, wacana penggunaan hak angket kasus kredit macet di PT Bank Sulteng sebesar Rp. 44 miliar yang berujung kompromi, tanpa bekas.

Buruknya kinerja parlemen lokal seperti yang dikemukakan diatas, juga tidak terlepas dari lemahnya kontrol masyarakat sipil terhadap wakil mereka di parlemen.

Terkait dengan hal tersebut, penyelenggaraan Pemilu 2009 disangsikan banyak kalangan sebagai Pemilu terburuk sejak reformasi karena KPU sebagai penyelenggara Pemilu dinilai tidak profesional,transparan, mengamputasi hak konstitusi rakyat. Dari sederetan fakta yang mempengaruhi kualitas pelaksanaan Pemilu, kisruh DPT termasuk yang paling menghebohkan. Puluhan ribu rakyat tidak bisa menyalurkan hak politiknya hanya karena mereka tidak terdaftar dalam DPT. Sebanyak 33.112 wajib pilih di Kota Palu terpaksa hanya bisa menjadi penonton ketika voting day digelar pada 9 April 2009. Sebabnya, KPU lalai membuat pemutahiran data pemilih. Sementera ribuan wajib pilih lainnya yang tersebar di 9 wilayah kabupaten juga senasib dengan warga Kota Palu.

Namun lepas dari plus-minus kualitas penyelenggaraan Pemilu 2009, menjadi kewajiban setiap politisi yang terpilih membuktikan janji politik mereka ketika menebar janji dan menggalang suara konstituen di masa kampanye. Selanjutnya adalah tugas publik menilai sejauhmana kinerja wakil rakyat terpilih periode 2009-2014. Sekaligus untuk menepis asumsi bahwa peran rakyat dalam politik hanya sampai di bilik suara ketika Pemilu berlangsung. Tanpa partisipasi aktif dan kritis dari rakyat sangat sulit membayangkan terwujudnya good governance.


Daftar Anggota DPRD Sulteng terpilih periode 2009-2014
Daerah Pemilihan : I (Satu) Kota Palu

NO PARTAI POLITIK NO. URUT DCT NAMA CALON TERPILIH SUARA SAH PERINGKAT SUARA SAH
1 2 3 4 5 6
1 PARTAI GOLONGAN KARYA 3 Hj. VERA R. MASTURA ROMPAS, S.Sos 8.429 1 (SATU)
2 PARTAI DEMOKRAT 1 LUSY SHANTI 4.871 1 (SATU)
3 PARTAI KEADILAN SEJAHTERA 1 H. ZAINUDDIN TAMBUALA, LC. MA 5.623 1 (SATU)
4 PARTAI AMANAT NASIONAL 1 M. LUTFI LEMBAH 3.124 1 (SATU)
5 PARTAI HATI NURANI RAKYAT 2 Hj. SITTI HALIMA LADOALI, SE 3.523 1 (SATU)

Daerah Pemilihan : II (Dua) Kabupaten Donggala
NO PARTAI POLITIK NO. URUT DCT NAMA CALON TERPILIH SUARA SAH PERINGKAT SUARA SAH
1 2 3 4 5 6
1 PARTAI GOLONGAN KARYA 1 Prof. (em) Drs. H. AMINUDDIN PONULELE, MS 19.705 1 (SATU)
2 PARTAI GOLONGAN KARYA 2 Drs. RIDWAN YALIDJAMA. MA 10.561 2 (DUA)
3 PARTAI DEMOKRAT 1 AS’AD LAWALI, SH 4.158 1 (SATU)
4 PARTAI DAMAI SEJAHTERA 3 SURYAWATI HOSARI 13.903 1 (SATU)
5 PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN 1 Ir. H. SYAFRUN ABDULLAH, BRE 4.109 1 (SATU)
6 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN 1 Drs. H. ASGAR ALI DJUHAEPA 3.018 1 (SATU)
7 PARTAI KEADILAN SEJAHTERA 1 SAKINAH AL JUFRIE, S.Ag 4.457 1 (SATU)
8 PARTAI GERAKAN INDONESIA RAYA 1 Ir. LUKMAN US. HEBA 2.645 1 (SATU)
9 PARTAI BINTANG REFORMASI 1 H. RUSLI DG. PALABBI, S.Sos 6.650 1 (SATU)

Daerah Pemilihan : III (Tiga) Kabupaten Parigi Moutong
NO PARTAI POLITIK NO. URUT DCT NAMA CALON TERPILIH SUARA SAH PERINGKAT SUARA SAH
1 2 3 4 5 6
1 PARTAI GOLONGAN KARYA 1 ERWIN BURASE, S.Kom 7.702 1 (SATU)
2 PARTAI DEMOKRAT 1 NAWAWI S. KILAT, SH 2.683 1 (SATU)
3 PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN 3 I NYOMAN SLAMET, S.Pd 7.316 1 (SATU)
4 PARTAI KEADILAN SEJAHTERA 1 ANDI PARENRENGI 4.140 1 (SATU)
5 PARTAI KARYA PEDULI BANGSA 1 H. AMRULLAH S. KASIM ALMAHDALY 7.776 1 (SATU)
6 PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA 2 Drs. TASWIN BORMAN, M.Si 7.997 1 (SATU)
7 PARTAI GERAKAN INDONESIA RAYA 3 LISTIAWATI 2.981 1 (SATU)






Daerah Pemilihan : IV (Empat) Kabupaten Poso-Tojo Unauna-Morowali
NO PARTAI POLITIK NO. URUT DCT NAMA CALON TERPILIH SUARA SAH PERINGKAT SUARA SAH
1 2 3 4 5 6
1 PARTAI GOLONGAN KARYA 4 ZAINAL ABIDIN ISHAK, ST 13.946 1 (SATU)
2 PARTAI DEMOKRAT 1 HENRI KAWULUR 10.031 1 (SATU)
3 PARTAI GOLONGAN KARYA 1 YUS MANGUN, SE 11.159 2 (DUA)
4 PARTAI PATRIOT 1 SONNY TANDRA 14.109 1 (SATU)
5 PARTAI AMANAT NASIONAL 2 SUPRAPTO DG. SITURU 6.847 1 (SATU)
6 PARTAI DEMOKRASI PEMBARUAN 2 Drs. H. CHAERUDIN ZEN, MM 9.248 1 (SATU)
7 PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN 2 HUISMAN BRANT TORIPALU, SH 2.947 1 (SATU)
8 PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA 1 YAHYA PATTIRO, SH 5.160 1 (SATU)
9 PARTAI DAMAI SEJAHTERA 1 Drs. SAWERIGADING PELIMA 3.117 1 (SATU)

Daerah Pemilihan : V (Lima) Kabupaten Banggai-Banggai Kepulauan
NO PARTAI POLITIK NO. URUT DCT NAMA CALON TERPILIH SUARA SAH PERINGKAT SUARA SAH
1 2 3 4 5 6
1 PARTAI GOLONGAN KARYA 2 H. BUSTA KAMINDANG, S.Ip. M.Si 12.368 1 (SATU)
2 PARTAI DEMOKRAT 1 H, MUSTAR LABOLO 11.467 1 (SATU)
3 PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN 1 Dra. Hj. SRI INDRANINGSIH LALUSU 10.748 1 (SATU)
4 PARTAI GOLONGAN KARYA 1 H. NASSER DJIBRAN, SH, MH 12.244 2 (DUA)
5 PARTAI DAMAI SEJAHTERA 1 MARKUS SATTU PAEMBONG, SH 10.608 1 (SATU)
6 PARTAI AMANAT NASIONAL 2 H. BASRI SONO 5.367 1 (SATU)
7 PARTAI HATI NURANI RAKYAT 1 DR. RAMLY ISA KUKUH, MNA 4.694 1 (SATU)
8 PARTAI KEADILAN SEJAHTERA 1 MOH. ILHAM CHANDRA 3.925 1 (SATU)
9 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN 1 Drs. RAMLI MBANI 3.673 1 (SATU)

Daerah Pemilihan : VI (Enam) Kabupaten Tolitoli-Buol
NO PARTAI POLITIK NO. URUT DCT NAMA CALON TERPILIH SUARA SAH PERINGKAT SUARA SAH
1 2 3 4 5 6
1 PARTAI GOLONGAN KARYA 1 Hj. MULYANI LADWAN, S.Sos 9.478 1 (SATU)
2 PARTAI KARYA PEDULI BANGSA 1 IRWANTO LUBIS, SH 6.898 1 (SATU)
3 PARTAI DEMOKRAT 1 SOENARSO 3.532 1 (SATU)
4 PARTAI HATI NURANI RAKYAT 1 SYARIFUDDIN ADAM, SE 4.632 1 (SATU)
5 PARTAI KEBANGKITAN BANGSA 1 Drs. H. ZAINAL DAUD 6.016 1 (SATU)
6 PARTAI AMANAT NASIONAL 1 YAHYA R. KIBI 2.557 1 (SATU)

POLITIK ANGGARAN YANG TIDAK PRO-POOR

Dibanding dengan daerah lainnya, pengentasan kemiskinan Sulawesi Tengah dinilai menjadi salah satu daerah yang mampu melampaui target pencapaian nasional penurunan jumlah masyarakat miskin sebesar 7,8 persen dalam tiga tahun terakhir atau dua persen setiap tahunnya. Di mana pada 2006, angka kemiskinan sebanyak 566.000, pada 2007 menurun 557.000 dan pada 2008 menurun menjadi 524.000 .
Sementara hasil tabulasi data Sumber Pusat Data dan Informasi Kemiskinan Departemen Sosial RI di 2007 mengomfirmasikan jumlah rumah tangga miskin (RTM) yang tersebar di wilayah Sulteng sebanyak 80.555 kepala keluarga (KK), yakni RTM tertinggi terdapat di Kabupaten Donggala sebesar 49.909 KK, Kabupaten Parigi Moutong 27.018 KK, Kabupaten Poso 20.749 KK, Kabupaten Banggai 20.501 KK, Kabupaten Toli-Toli 18.901 KK, Kabupaten Morowali 17.552 KK, Kabupaten Tojouna-Una 16.797 KK, Kabupaten Banggai Kepulauan 13.718 KK, Kota Palu 13.376 KK dan Kabupaten Buol 11.857 KK .
Namun jika ditelisik penurunan tersebut tidak sebanding dengan besarnya dana yang telah digelontorkan. Secara nasional pada 2007 dana yang digelontorkan untuk penduduk miskin sebesar Rp 54 triliun dan Rp 62 triliun pada 2008. Lebih ironis lagi, sekalipun beragam bantuan-BLT, Raskin, PKPS BBM, dan lain lain-yang disalurkan kepada rakyat miskin namun capaian penurunan tidak berkorelasi langsung pada kualitas perubahan tingkat kesejahteraan rakyat. Hal ini dikarenakan program-program tersebut bersifat karititatif, sesaat dan nuansa edukasinya tidak memberdayakan rakyat. Tidak heran jika program ini menuai resistensi dan protes banyak kalangan. Sementara warga yang mengalami tingkat kemiskinan akut biasanya atau bahkan sama sekali tidak tersentuh dengan program-program tersebut.
Selain itu, jika APBD dibedah maka yang nampak adalah pola pengerukan anggaran yang terbingkai dalam aneka program kerja SKPD saling tumpang tindih, miskin partisipasi dan seolah tidak bersentuhan dengan peningkatan hajat hidup dan pemenuhan kebutuhan mendesak rakyat. Anehnya, aspirasi masyarakat yang dalam Musrenbang cenderung dilihat sebelah mata, selalu diabaikan dan ruang aspirasi tersebut seringkali mengalami penyempitan karena derasnya arus kepentingan di masing-masing institusi penyelenggara pemerintahan. Tidak salah jika Musrenbang sebagai satu-satunya mekanisme perencanaan pembangunan oleh warga disimpulkan sebagai forum basa-basi, sebatas formalitas semata dan sarat dengan aneka kepentingan para lobyis, elit politik dan pejabat .

PENGABAIAN SEKTOR PENDIDIKAN DALAM APBD

Tata pemerintahan yang baik (Good Goverment) tentunya melihat sejauh mana pemerintah mampu memberikan pelayanan kepada publik sehingga tujuan dari kesejahteraan itu dapat terwujud. Hal ini tidak terlepas dari mekanisme perencanaan dan penganggaran yang setiap tahunnya disusun sehingga memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat khususnya pelayanan dasar di sektor pendidikan

•Jika dilihat dari total belanja Kota Palu pada urusan pendidikan secara nominal mengalami kenaikan, hal ini di sesuaikan dengan hasil analisis yang di lakukan, di mana realisasi anggaran belanja sektor pendidikan di tahun 2007 sebesar Rp 133 milliar, yang kemudian realisasi pada tahun 2008 naik menjadi Rp 160 milliar, dan di 2009 naik secara drastis menjadi Rp 202 milliar, jika di prosentase total belanja urusan sector pendidikan terhadap keseluruhan total belanja daerah, dapat di prediksikan mengalami kenaikan dimana pada tahun 2007 dapat di prosentasekan menjadi 20 %, sementara realisasi di tahun 2008 hanya naik sebesar 21%, dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan prosentase yang cukup signifikan menjadi 25% dari total APBD.

•Sementara itu untuk belanja langsung urusan pendidikan tidak mendukung dengan capaian anggaran 20 %, sesuai standar nasional untuk pendidikan, karena realisasi anggaran tahun 2009 hanya pada posisi 15 %. Dan jika di gambarkarkan dengan besaran nominal belanja langsung adalah Rp 23 mliiar. Bila kita membandingkan dengan alokasi untuk urusan yang sama yaitu pendidikan dalam belanja tidak lansung, maka dapat di gambarkan bahwa total anggaran untuk urusan sektor pendidikan masih di dominasi pada anggaran belanja tidak langsung yaitu sebesar Rp 178 milliar. Dalam proses penganggarannya memang total belanja pendidikan ini memang mengalami kenaikan, tetapi sebagian besar anggarannya di serap pada belanja tidak langsung dan apa bila di prosentasekan maka belanja tidak langsung terhadap total belanja daerah terlihat bahwa perencanaan pada tahun 2009 sebesar 56%.

Dikaji pada manfaatnya, di sektor pendidikan tahun 2009 maka akses terhadap belanja aparatur masih mendominasi yaitu sebesar 65 %, yang kemudian disusul oleh belanja infrstruktur dasar sebesar 25 %, adminstrasi perkantoran 9 % dan belanja peningkatan mutu hanya sebesar 1 %. Hal ini sangat tidak konsisten dengan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) dimana salah satu prioritas pembangunan adalah peningkatan sumber daya yang berkualitas dan demikian halnya dalam RPJM Kota Palu 2006 dan 2011 selain infrastruktur dasar.

Di sisi lain anggaran terhadap akses pendidikan dasar untuk semua penting untuk diperhatikan mengingat untuk menekan angka putus sekolah sehingga sangat disayangkan jika di tahun 2007 dan 2008 penyedian biaya retrival bagi anak putus sekolah yang mencapai Rp 200 juta namun ditahun 2009 sudah tidak teranggarkan lagi.

PREKTEK 1/2 HATI REFORMASI BIROKRASI DAERAH

“Decentralization, without proper governance, led to widespread corruption.”
Otonomi tanpa tata kelola pemerintahan yang benar hanya akan menghasilkan korupsi yang semakin meluas.
(Dillon, HS. "Development and Governance: Where Is Indonesia Heading? "
The Jakarta Post, Tuesday, 03 April 2007)

Idealnya, implementasi otonomi daerah disebut berhasil jika dalam prakteknya setiap proses perumusan dan penerapan kebijakan dalam rangka pengelolaan pemerintahan berlandaskan pada sepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); Partisipasi, Kepastian/ Penegakan hukum, Transparansi, Kesetaraan dan Inkusif, Daya Tanggap, Wawasan Kedepan, Pengawasan, Akuntabilitas, Efesiensi dan Efektifitas serta Profesionalisme. Dengan kata lain, ke sepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik tersebut seharusnya menjadi pegangan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengatur jalannya roda pemerintahan di wilayahnya.

Namun sampai dengan 2009, implementasi sepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik di Sulawesi Tengah, justru tidak menciptakan perubahan secara signifikan. Tingkat kemiskinan masih sulit ditekan, pelayanan publik belum memadai, transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran dan akses publik terhadap dokumen kebijakan, termasuk APBD masih sulit, penegakan hukum dan HAM lemah, dll.

Sementara peran anggota legislatif yang diharap bisa mengakselarasi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dalam perjalanannya juga kerap tidak digunakan secara proporsional, yang berkembang justru sarat dengan nuansa kompromi kepentingan antara eksekutif dan legislatif. Sangat langka terjadi pemandangan di mana parlemen sebenar-benarnya berperan sebagai garda terdepan memperjuangkan kepentingan rakyat face to face dengan eksekutif. Yang nampak, kegarangan anggota parlemen muncul di periode awal ketika menjabat, sesudahnya seolah menjadi “macan ompong”. Sebagaimana ungkapan dalam pepatah “lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang”.

Boleh saja ke dua institusi penyelenggaran pemerintahan daerah ini padu dalam menyuarakan tata kelola pemerintahan yang baik, tetapi realitasnya seringkali berkata lain. Demi meloloskan sebuah keinginan ”terpaksa” arus transaksional tak terhindarkan agar semuanya menjadi lancar. KKN berurat akar karena ia menjadi pelumas yang menggerakkan mesin birokrasi dan roda pembangunan.

KABUT HITAM PENANGANAN KORUPSI DI SULTENG 2009

Tahun 2009 merupakan masa suram penanganan dan penegakan hukum kasus-kasus korupsi di Sulteng. Sepanjang tahun ini, tidak ada penindakan pelaku korupsi yang dapat dikategorikan luar biasa sekalipun media massa selalu memberi catatan kritis lemahnya kinerja dan integritas penegak hukum di Sulteng. Belum ada success story yang benar-benar dihasilkan lembaga peradilan. Sebabnya;

Pertama, kinerja penegak hukum masih jauh memuaskan. Bahkan dalam beberapa kasus tidak jelas penanganannya dan justru aparat penegak hukum diduga terlibat melakukan praktek korupsi. Kedua, lembaga peradilan masih menjadi lembaga “pembebas” para koruptor. Ketiga, Pemerintah Daerah kurang serius dalam memberantas korupsi.

Hal tersebut diukur dengan menggunakan cara, pertama, meninjau peringkat korupsi yang menggunakan standar internasional. Cara ini lebih efektif jika kita membandingkan dengan negara lain. Kedua, melihat kinerja Kejaksaan sebagai "lokomatif" pemberantasan korupsi.

Sesuai Standar Kerja penyelesaian perkara korupsi dengan indikator kinerja kejaksaan yaitu 5:3:1, artinya lima kasus ditangani Kejaksaan Tinggi, tiga kasus ditangani Kejaksaan Negeri dan satu kasus ditangani Cabang Kejaksaan Negeri, namun target tersebut belumlah terpenuhi. Jika kita menghitung rumus tersebut, di Sulawesi Tengah ada sembilan Kabupaten dan satu Kota (ini belum termasuk Kabupaten Sigi Biromaru yang memang belum ada Kejaksaan Negeri), minimal kasus yang seharusnya diselesaikan oleh Kejaksaan Negeri 30 Kasus dan Kejaksaan Tinggi lima Kasus (ini belum termasuk kasus yang seharusnya ditangani oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri). Jadi total kasus yang harus ditangani minimal 35 kasus.

Dari 32 kasus yang berhasil dihimpun datanya, kasus yang divonis bersalah oleh PN ada empat kasus (tiga pelaku di tahan). Sedangkan, 24 kasus dalam tahap penyidikan (sebelas kasus pelakunya di tahan, enam kasus pelakunya belum ditahan dan tujuh kasus pelakunya dikenakan tahanan kota). Empat kasus yang telah di vonis di PN dua di antaranya divonis bebas yaitu Korupsi di PLN Parigi Moutong tahun2008 (Pemasangan 218 aliran listrik di Kabupaten Parimo) dan Korupsi Dana Retribusi Galian C di Kabupaten Donggala. Satu kasus di vonis 1 tahun penjara dan satu kasus diatas 1 tahun penjara. Dari dua kasus yang divonis tersebut nilai kerugian Negara sebesar Rp.291.400.000,- (tuntutan JPU). Sementara vonis PN yang terdiri dari Denda Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan Pengganti Kerugian Negara sebesar Rp.71.000.000,- (tujuh puluh satu juta rupiah). Taksiran kerugian Negara ini sangat bertolak belakang dengan putusan PN, dimana uang pengganti kerugian Negara yang diputuskan di PN sangat kecil bila dibandingkan dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum.
Sedangkan total kerugian negara yang ditimbulkan dari 32 kasus tersebut sebesar + Rp. 65.783.421.112. Namun menurut Asisten Pidana Khusus (Aspidus) Kejati Sulteng, Puji Harjono, SH, MM “sepanjang tahun 2009, Kejati berhasil mengembalikan kerugian Negara sebesar Rp 4,3 Milyar dengan jumlah kasus yang ditangani 47 kasus diantaranya 33 kasus ke tingkat penuntutan yang langsung ditangani Kejaksaan dan 9 kasus dilimpahkan dari penyidikan Kepolisian”. Dari pernyataan tersebut, juga belum memenuhi standar kerja penyelesaian perkara korupsi yang seharusnya minimal 35 kasus .

Berdasarkan data kasus perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK) tersebut, nampak bahwa jumlah kasus TPK di Propinsi Sulawesi Tengah masih sangat tinggi. Dalam kurun waktu 2007-2009, jumlah kasus TPK mencapai angka 224 kasus. Dan aktor yang dijerat sebagai pelaku korupsi adalah pejabat di institusi pemerintahan, pimpinan organisasi dan pelaku usaha dengan persentase; pejabat eksekutif dan anggota legislatif (+65%), pejabat BUMN/BUMD (+12%), swasta/kontraktor (+10%), anggota KPUD (+ 6%), aktor organisasi sosial (+3%) dan penyelenggar pendidikan (+ 4%).

Sementara di 2009, sebanyak 17 kasus korupsi terjadi di eksekutif, 4 kasus di KPUD, 2 kasus di BUMN, 1 satu kasus di legislative, 1 kasus di BUMD, dan 2 kasus di sector swasta. Actor utama pelaku korupsi adalah pegawai pemerintah provinsi/ kabupaten/ kota sebanyak 29 orang, seorang mantan bupati, 2 orang pengelola BUMN, 2 pengelola BUMD dan 2 orang pengusaha. Sementara dugaan korupsi di KPUD Palu sampai saat ini dalam proses penyelidikan/penyidikannya di Kepolisian maupun di Kejaksaan. Ironisnya, dari sekumpulan kasus-kasus tersebut sebesar 78% sumber dana yang dikorup berasal dari APBD, 18% bersumber dari APBN dan sisanya 4% tidak jelas

Modus yang masih digunakan oleh para koruptor dalam merampok uang Negara yaitu dengan cara: laporan fiktif sepuluh kasus (37%), Mark Up anggaran tujuh kasus (26%), penggelapan/ penyunatan anggaran dari dana APBD/ APBN sebanyak empat kasus (15%), pajak empat kasus (15%), pemerasan satu kasus (3%). Sebagai catatan, bahwa biasanya para koruptor merampok uang negara menggunakan modus lebih dari satu, bahkan ada yang menggunakan tiga sampai empat modus.

Dilihat dari tingkat nilai kerugian Negara, uang negara yang di korup kurang dari satu milyar rupiah dengan jumlah 13 kasus (48%), diatas satu milyar rupiah sebanyak sepuluh kasus (37%), tidak jelas kerugian negaranya empat kasus (15%) karena sampai saat ini Kejaksaan belum pernah mempublikasikan di media massa.

Dari sepuluh kasus tindak pidana korupsi yang nilai kerugian negara di atas satu milyar rupiah, hanya satu kasus yang sampai pada tahapan persidangan di Pengadilan Negeri, sementara sisanya masih dalam proses penyelidikan/penyidikan di kepolisian dan kejaksaan di mana status kasus tersebut belum jelas.

Ternyata standar kerja penyelesaian perkara korupsi yang merupakan indicator yang dibuat sendiri oleh Kejaksaan Agung belumlah terpenuhi, karena sampai dengan akhir bulan tahun 2009 ini, kasus yang ditangani langsung oleh Kejaksaan sebanyak 17 kasus dan sangat jauh dari target 5:3:1. Ini sangat jauh dari harapan masyarakat Sulawesi Tengah. Kinerja Kejaksaan sangat lamban, tidak produktif serta tidak efesien dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.

Beberapa kasus korupsi besar yang penangananannya dibuat kabur; Pertama, Dugaan korupsi Dana Pemulihan Pasca Konflik Poso (Dana Recovery Poso Tahun 2007) dari Menkokesra sebesar Rp 58 Milyar. (Dana Recoveri Poso Rp 58 M dengan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) TA 2004/2005 adalah Menkokesra yang diserahkan langsung dan dikelola Pemda Poso dengan pejabat pembuat komitmen (PPK) Bappeda Poso yaitu Nelu .
Kedua,Dugaan korupsi proyek Pasar Sentral Poso dan Pasar Tentena sebesar Rp 2,6 Milyar . Ketiga, dugaan korupsi Proyek Percetakan Sawah di Desa Serese Kecamatan Mamasa dan Desa Lomba Kecamatan Lamala Kabupaten Banggai TA 2006 dan 2007.
Keempat, dugaan korupsi dana proyek pembuatan dua unit jembatan timbang (Portable) TA 2006 di Kabupaten Tolitoli . Kelima, Dugaan Korupsi Dana Pemeliharaan Komputer di lingkungan Pemerintahan Propinsi Sulawesi Tengah TA 2007 .

Catatan:
1.Mekanisme manajemen perkara mulai dari penyelidikan, penyidikan, produk dakwaan dan tuntutan perlu diperbaiki sehingga ketika pada tahapan persidangan, tidak ada lagi putusan kasus yang bebas karena ada kelemahan-kelemahan dalam dakwaan, tuntutan dan kelemahan JPU pada saat pemeriksaan saksi dan alat bukti dipersidangan.

2.Standar kinerja penanganan kasus korupsi dengan metode 5:3:1 tidak tercapai. Kinerja ini terlihat sangat lamban, tidak produktif dan tidak efesien, oleh karena itu, mekanisme reward and punishment bagi Kepala Kejaksaan perlu ditegakkan dan penerapannnya harus transparan dan disampaikan ke masyarakat luas.

3.Pertanggungjawaban pengembalian asset Negara dan uang pengganti kerugian Negara dari tindak pindana korupsi yang telah dikumpulkan harus diumumkan kepublik secara transparan dengan menyebut ke instansi mana saja asset Negara dan uang pengganti kerugian Negara dari tindak pinadana korupsi tersebut diserahkan.

4.Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri perlu memprioritaskan penanganan perkara korupsi dari aspek kualitas, baik yang terkait dengan jumlah nilai kerugian negara, sektor, dampak korupsi yang ditimbulkan bagi masyarakat dan siapa aktor yang terlibat;

5.Tidak adanya mekanisme akuntabilitas kinerja penanganan perkara korupsi melalui penyampaian progress report secara berkala kepada publik dan melibatkan pelapor dalam gelar perkara khususnya di daerah;

6.Integritas upaya penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan dari intervensi, tekanan dan pengaruh dari politisi dan kekuasaan masih terlihat seperti dalam penanganan kasus korupsi dana bantuan kemanusiaan (dana recovery) Kabupaten Poso.

7.Dari sepuluh kasus tindak pidana korupsi yang nilai kerugian negara lebih dari satu milyar rupiah, hanya satu kasus yang sampai pada tahapan persidangan di Pengadilan Negeri, sementara sisanya masih dalam proses penyelidikan/penyidikan di kepolisian dan kejaksaan yang statusnya juga belum jelas, sehingga penting kiranya untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di region Sulawesi untuk dapat menanagani perkara tindak pindana korupsi yang nilai kerugiannya lebih dari satu milyar rupiah.

BENTROKAN MASSA

Bentrokan massa atau perkelahian antara kelompok masyarakat juga menghiasi catatan kekerasan tahun 2009. Sepanjang tahun ini, terjadi sebanyak empat kasus perkelahian antar massa, dua kasus terjadi di Kab. Sigi Biromaru dan masing-masing terjadi sekali di Kab. Donggala dan Poso. Bentrokan yang terjadi di Kab Sigi Biromaru dan Donggala mengakibatkan seorang tewas dan dua orang mengalami luka parah akibat terkena benda tajam dan lemparan benda keras.

Dua bentrokan massa di Kab. Sigi Biromaru, terjadi antara warga Karawana dengan warga Desa Solove dan warga Desa Pasaku dengan warga Desa Sambo. Bentrokan antara warga Desa Solove dengan warga Desa Pesaku terjadi pada Jum’at, 13 Febuari 2009, dipicu dari rasa dendam lama yang memuncak di lapangan sepak bola. Tidak ada korban jiwa dalam perkelahian ini karena aparat keamanan cepat bertindak.

Sedangkan bentrokan massa antara warga desa Pasaku dengan warga Desa Sambo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi terjadi pada Senin malam…… akibatnya, seorang warga tewas akibat tebasan senjata tajam di bagian kaki kiri, tangan kanan dan bagian pinggang belakang dan seorang luka sobek di bagian pelipis mata kanan akibat lemparan benda keras.

Di Kabupaten Donggala, tepatnya di Kecamatan Tovea terjadi bentrokan antar pemuda Desa Ova dengan Desa Wambo pada Sabtu, 26 September 2009. Akibatnya, seorang luka sobek di bagian perut.

Kasus kekerasan antar massa tersebut di atas dipicu oleh perkelahian antar pemuda di dua desa tetangga.

Sedangkan penyebab amuk massa yang terjadi di Kabupaten Poso dilatari oleh kemarahan warga akibat janji-janji kosong dari pengelola PLN Ranting Tentena. Sekelompok warga mendatangi kantor PLN Ranting Tentena dan merusak gedung serta fasilitas kantor PLN tersebut. Kejadian ini berawal dari kejengkelan warga yang merasakan pemadaman listrik selama 15 hari. Akbibatnya, pada Jum’at malam, 11 Desember 2009, warga melakukan protes ke kantor PLN Ranting Tentena yang berbuntut pada pengrusakan fasilitas kantor.
Dengan demikian, dari 3 bentuk kekerasan tersebut, kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan di Kota Palu menjadi dominan. Di wilayah ini terjadi lima kasus kekerasan aparat (55,56 %), dua kasus di Kabupaten Luwuk (22,22 %), sekali di Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong (11,11%).

Pembubaran aksi massa menjadi penyebab dominan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Alasan ini terjadi empat kali (50 %) ketika aparat melakukan kekerasan. Alasan berikut adalah masalah pribadi dan salah paham. Masing-masing alasan tersebut terjadi sebanyak dua kali (25 %).

Untuk wilayah yang dominan sering terjadi kekerasan, Kota Palu menjadi wilayah “primadona”. Wilayah Kota Palu terjadi enam kasus kekerasan (37,50 %). Ranking kedua adalah wilayah Kabupaten Poso dengan tiga kali kasus kekerasan terjadi (18,75%). Ranking selanjutnya adalah wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigibiromaru, Kabupaten Luwuk dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Masing-masing kabupaten tersebut terjadi dua kali kasus kekerasan (12,50 %). Untuk wilayah Kabupaten Parimo, “hanya” sekali terjadi kasus kekerasan (6,25 %).

Dari kekerasan yang terjadi selama tahun 2009, korban yang timbul sebanyak 14 orang. Dengan perincian seorang korban tewas (7,14 %), korban yang mengalami luka berat sebanyak sembilan orang (64,29 %) dan luka ringan sebanyak empat orang (28,57 %). Dari korban luka-luka sebanyak 13 orang tersebut, tiga orang (23,08 %) diantaranya karena tembakan. Dua orang (15,38 %) karena senjata tajam dan dua orang lainnya (15,38 %) karena lemparan benda keras. Serta enam orang lainnya (46,15 %) karena pukulan.

APARAT JADI SUMBER KEKERASAN

Citra penegakan hukum jeblok karena aparat kerap bagian dari masalah. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan adalah salah satu contoh kongkrit betapa praktek kekerasan masih menjadi ciri penyelesaian masalah. Di tahun ini tercatat sembilan kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Berikut rangkaian kejadian kasus-kasus tersebut;

•Gerombolan aparat kepolisian menganiaya seorang pemuda, warga Kelurahan Nunu, Kota Palu. Korban dipukuli bertubi-tubi di bagian kepala dan perut. Inseden ini terjadi pada Senin dini hari, 12 Januari 2009, sekitar pukul 00.25 wita. Kasus ini bermula ketika korban sedang bersendagurau dengan teman-temannya dan saling melempar batu sambil minum minuman keras. Lemparan batu tersebut tidak sengaja mengenai mobil polisi yang tengah melintas. Anggota patroli mengira korban dan teman-temannya sengaja melempar langsung ditangkap dan dimasukan ke dalam mobil truk. Di atas mobil truk korban dipukuli secara bergantian dan bertubi-tubi.

•Aksi penolakan warga Kelurahan Mendono, Kecamatan Kintom atas pelantikan Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) Sekab Banggai, Mayir A Madja. Warga memblokir jalan Jalur Trans Luwuk-Toili (Selasa, 3 Febuari 2009). Aparat polisi yang melakukan pengamanan tidak bisa berkutik meskipun telah berulang kali melakukan negoisasi dengan warga dengan harapan warga segera membukaan pemblokiran jalan tersebut. Karena negoisasi menjalani jalan buntu, aparat polisi pun membuka pemblokiran jalan tersebut dengan paksa. Namun sebelum pemblokiran jalan dibuka, warga yang melakukan aksi menghujani aparat kepolisian dengan batu. Akibatnya seorang aparat kepolisian mengalami luka di mulut, bibir bagian atas robek gigi lima biji rontok akibat lemparan batu.

•Aksi penolakan atas Perda tentang Kenaikan Tarif Pelayanan Kesehatan di Luwuk dilakukan Mahasiswa Universitas Tompotika (Untika) di kantor DPRD Luwuk berujung bentrok dengan aparat keamanan (Kamis, 5/2/2009). Insiden ini berawal ketika para aksi massa melakukan orasi di depan gedung DPRD Luwuk untuk segera menurunkan tariff pelayanan kesehatan dan disaat bersamaan juga merusak dan memecahkan beberapa kaca jendela gedung DPRD Luwuk. Kontan aparat kepolisian mengejar para mahasiswa dan terjadi baku hantam antara peserta aksi demonstrasi dengan aparat kepolisian. Akibatnya seorang peserta aksi demontrasi mengalami luka-luka dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum Luwuk.

•Dengan alasan yang tidak jelas, aparat kepolisian Polres Palu melakukan tindak kekerasan terhadap peserta aksi demonstrasi. Akibatnya dua peserta demontrasi mengalami luka yang cukup parah. Salah seorang korban bahkan sampai terkapar di tanah dan dari mulutnya mengeluarkan darah serta sempat tidak sadarkan diri akibat kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Kejadian yang terjadi pada hari Kamis, 19 Febuari 2009, tersebut berawal dari Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Garak) Sulteng melakukan demonstrasi di kantor Gubernur, kantor Kejati, kantor Polda Sulteng, DPRD Sulteng dan DPRD Kota. Pada saat di DPRD Kota situasi memanas ketika Kasat Samapta Polres Palu, AKP Sutrisno AMD, menarik paksa mikrofon yang dipakai orator di atas mobil pick-up sambil menunjuk wajah salah seorang Korlap aksi demonstrasi. Untuk menghindari bentrokan dengan aparat kepolisian, peserta aksi demonstrasi kembali ke Taman GOR dan membubarkan diri. Selang 20 menit tanpa alasan dan penyebab yang jelas, aparat kepolisian melakukan pengejaran dan pemukulan terhadap peserta aksi demonstrasi.

•Dua warga Desa Sioyong mengalami luka tembak saat mengikuti unjuk rasa untuk menuntut pemberhentian pengangkutan material di Sungai Desa Sioyong, Kabupaten Donggala. Peristiwa tersebut berawal dari warga Desa Sioyong dan Desa Pongeranga melakukan aksi unjuk rasa dengan memblokir pertigaan jalan ke Sabang. Aksi yang dilakukan pada hari Selasa, 28 April 2009, bertujuan untuk menghadang mobil truk PT Asean Tunggal Mandiri Perkasa (ATMP) yang mengangkut material dari irigasi Desa Parisan Agung di pesisir pantai Sabang dengan kawalan belasan anggota polisi dari Polsek Damsol dan Brimob Polda Sulteng. Aparat kepolisian pun mengeluarkan tembakan ke udara dan ke kerumunan warga karena warga tudak mengindahkan permintaan polisi untuk segera membubarkan diri.

•Pada Rabu malam, 1 Juli 2009, terjadi penganiayaan yang dilakukan oknum TNI terhadap warga. Kejadian ini terjadi di Pantai Talise Palu. Akibatnya korban (IR) mendapatkan sebelas jahitan akibat bagian kaki kirinya robek dan mengalami memar di bagian wajah. Kejadian ini berawal ketika korban, yang juga pacar pelaku, mengetahui bahwa pelaku telah berkeluarga dan korban tidak mau melanjutkan hubungan mereka serta terus menghindar dari pelaku. Akhirnya korban ditemukan pelaku di tempat kerjanya di sebuah rumah makan di daerah Talise.

•Oknum polisi berpangkat Brigadir dengan inisial RH, anggota Polsek Palu Barat, melakukan penganiayaan. Akibatnya, korban mengalami luka ringan akibat dipukul pelaku. Kejadian ini terjadi pada hari Sabtu, 11 Juli 2009, berawal dari korban, yang juga calon istri pelaku, mendapati pelaku sedang berduaan dengan perempuan di sebuah kamar kost.

•Tiga orang oknum anggota satuan polisi air (Polair) Polda Sulteng yang bertugas di Pospol Airud Kecamatan Moutong, Kabupaten Parigi Moutong diduga menganiaya warga Desa Bolohung Olonggata. Akibatnya, korban mengalami luka cukup serius disekujur tubuhnya. Kejadian ini terjadi pada Selasa, 17 November 2009, di jalan Trans Sulawesi Dusun IV Desa Moutong berawal dari teman korban yang menerima telpon dengan suara dan tawa yang keras. Merasa tersinggung Briptu HI, Briptu RS dan Bripda MR menegur dan langsung memukul korban.

•Seorang sopir mobil rental menjadi korban penembakan “tidak sengaja” dari anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polda Sulteng. Korban mengalami luka tembak di bagian perut sebelah depan kanan menembus ke lengan kanannya. Kejadian ini terjadi pada Jum’at dini hari, 20 November 2009, berawal ketika korban hendak mengantar mobil pesanan langganannya di Space Bar Palu dan ketika sampai di tempat tujuan korban mendapati pelaku sedang bersitegang dengan beberapa pemuda lainnya. Ketika korban mendekat hendak melerai pertengkaran tersebut, saat itu juga korban jatuh ke lantai dengan bersimbah darah.

TEROR BOM DI SULTENG 2009

Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di 2009 ini Kota, Palu dan Kab. Poso merupakan dua wilayah langganan teror bom. Wilayah ini menjadi tempat teroro karena Poso sebagai daerah bekas konflik etno relegius dan Kota Palu sebagai pusat pemerintahan di Sulteng. Sebanyak dua kasus terror bom terjadi di Kab.Poso dan satu kasus terjadi di Kota Palu. Meskipun teror bom yang terjadi di dua wilayah tersebut tidak menimbulkan korban jiwa dan harta benda, namun tetap saja membuat warga di sekitar lokasi teror bom menjadi panik. Ironisnya, teror bom di Poso dilakukan oleh siswa pelajar, motifnya hanya sekedar iseng dengan menggunakan petasan.

Ledakan pertama terjadi pada hari Senin (19/1) sekitar pukul 23.00 wita di sebuah lahan kosong di pertigaan jalan belakang rumah sakit umum Poso dan ledakan kedua terjadi pada Selasa (20/1) sekitar pukul 22.00 wita di lahan kosong samping GOR Pusalemba tepat di depan Kantor Camat Poso Kota Selatan atau sekitar sepuluh meter dari Kantor Panwaslu Poso.

Sementara di Kota Palu, peneror menyebarkan teror bom melalui telpon genggam. Namun setelah aparat kepolisian (Jihandak) yang dipimpin langsung Kapolresta Palu AKBP Bonar Sitindjak melakukan penyisiran ternyata tidak ditemukan adanya bahan peledak atau benda berbahaya lainnya. Teror ini terjadi di Kantor Managemen Utama Taksi Palu, Selasa, 30 Juni 2009.