Selamat Datang

STOP KORUPSI, STOP MARKUS, STOP SUAP, STOP KONGKALINGKONG. START TO CLEAN YOUR LIF

BERANTAS KORUPSI

BERANTAS KORUPSI
STOP KORUPSI, STOP MARKUS, STOP SUAP, STOP KONGKALINGKONG. START TO CLEAN YOUR LIF

Rabu, 13 Januari 2010

KABUT HITAM PENANGANAN KORUPSI DI SULTENG 2009

Tahun 2009 merupakan masa suram penanganan dan penegakan hukum kasus-kasus korupsi di Sulteng. Sepanjang tahun ini, tidak ada penindakan pelaku korupsi yang dapat dikategorikan luar biasa sekalipun media massa selalu memberi catatan kritis lemahnya kinerja dan integritas penegak hukum di Sulteng. Belum ada success story yang benar-benar dihasilkan lembaga peradilan. Sebabnya;

Pertama, kinerja penegak hukum masih jauh memuaskan. Bahkan dalam beberapa kasus tidak jelas penanganannya dan justru aparat penegak hukum diduga terlibat melakukan praktek korupsi. Kedua, lembaga peradilan masih menjadi lembaga “pembebas” para koruptor. Ketiga, Pemerintah Daerah kurang serius dalam memberantas korupsi.

Hal tersebut diukur dengan menggunakan cara, pertama, meninjau peringkat korupsi yang menggunakan standar internasional. Cara ini lebih efektif jika kita membandingkan dengan negara lain. Kedua, melihat kinerja Kejaksaan sebagai "lokomatif" pemberantasan korupsi.

Sesuai Standar Kerja penyelesaian perkara korupsi dengan indikator kinerja kejaksaan yaitu 5:3:1, artinya lima kasus ditangani Kejaksaan Tinggi, tiga kasus ditangani Kejaksaan Negeri dan satu kasus ditangani Cabang Kejaksaan Negeri, namun target tersebut belumlah terpenuhi. Jika kita menghitung rumus tersebut, di Sulawesi Tengah ada sembilan Kabupaten dan satu Kota (ini belum termasuk Kabupaten Sigi Biromaru yang memang belum ada Kejaksaan Negeri), minimal kasus yang seharusnya diselesaikan oleh Kejaksaan Negeri 30 Kasus dan Kejaksaan Tinggi lima Kasus (ini belum termasuk kasus yang seharusnya ditangani oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri). Jadi total kasus yang harus ditangani minimal 35 kasus.

Dari 32 kasus yang berhasil dihimpun datanya, kasus yang divonis bersalah oleh PN ada empat kasus (tiga pelaku di tahan). Sedangkan, 24 kasus dalam tahap penyidikan (sebelas kasus pelakunya di tahan, enam kasus pelakunya belum ditahan dan tujuh kasus pelakunya dikenakan tahanan kota). Empat kasus yang telah di vonis di PN dua di antaranya divonis bebas yaitu Korupsi di PLN Parigi Moutong tahun2008 (Pemasangan 218 aliran listrik di Kabupaten Parimo) dan Korupsi Dana Retribusi Galian C di Kabupaten Donggala. Satu kasus di vonis 1 tahun penjara dan satu kasus diatas 1 tahun penjara. Dari dua kasus yang divonis tersebut nilai kerugian Negara sebesar Rp.291.400.000,- (tuntutan JPU). Sementara vonis PN yang terdiri dari Denda Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan Pengganti Kerugian Negara sebesar Rp.71.000.000,- (tujuh puluh satu juta rupiah). Taksiran kerugian Negara ini sangat bertolak belakang dengan putusan PN, dimana uang pengganti kerugian Negara yang diputuskan di PN sangat kecil bila dibandingkan dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum.
Sedangkan total kerugian negara yang ditimbulkan dari 32 kasus tersebut sebesar + Rp. 65.783.421.112. Namun menurut Asisten Pidana Khusus (Aspidus) Kejati Sulteng, Puji Harjono, SH, MM “sepanjang tahun 2009, Kejati berhasil mengembalikan kerugian Negara sebesar Rp 4,3 Milyar dengan jumlah kasus yang ditangani 47 kasus diantaranya 33 kasus ke tingkat penuntutan yang langsung ditangani Kejaksaan dan 9 kasus dilimpahkan dari penyidikan Kepolisian”. Dari pernyataan tersebut, juga belum memenuhi standar kerja penyelesaian perkara korupsi yang seharusnya minimal 35 kasus .

Berdasarkan data kasus perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK) tersebut, nampak bahwa jumlah kasus TPK di Propinsi Sulawesi Tengah masih sangat tinggi. Dalam kurun waktu 2007-2009, jumlah kasus TPK mencapai angka 224 kasus. Dan aktor yang dijerat sebagai pelaku korupsi adalah pejabat di institusi pemerintahan, pimpinan organisasi dan pelaku usaha dengan persentase; pejabat eksekutif dan anggota legislatif (+65%), pejabat BUMN/BUMD (+12%), swasta/kontraktor (+10%), anggota KPUD (+ 6%), aktor organisasi sosial (+3%) dan penyelenggar pendidikan (+ 4%).

Sementara di 2009, sebanyak 17 kasus korupsi terjadi di eksekutif, 4 kasus di KPUD, 2 kasus di BUMN, 1 satu kasus di legislative, 1 kasus di BUMD, dan 2 kasus di sector swasta. Actor utama pelaku korupsi adalah pegawai pemerintah provinsi/ kabupaten/ kota sebanyak 29 orang, seorang mantan bupati, 2 orang pengelola BUMN, 2 pengelola BUMD dan 2 orang pengusaha. Sementara dugaan korupsi di KPUD Palu sampai saat ini dalam proses penyelidikan/penyidikannya di Kepolisian maupun di Kejaksaan. Ironisnya, dari sekumpulan kasus-kasus tersebut sebesar 78% sumber dana yang dikorup berasal dari APBD, 18% bersumber dari APBN dan sisanya 4% tidak jelas

Modus yang masih digunakan oleh para koruptor dalam merampok uang Negara yaitu dengan cara: laporan fiktif sepuluh kasus (37%), Mark Up anggaran tujuh kasus (26%), penggelapan/ penyunatan anggaran dari dana APBD/ APBN sebanyak empat kasus (15%), pajak empat kasus (15%), pemerasan satu kasus (3%). Sebagai catatan, bahwa biasanya para koruptor merampok uang negara menggunakan modus lebih dari satu, bahkan ada yang menggunakan tiga sampai empat modus.

Dilihat dari tingkat nilai kerugian Negara, uang negara yang di korup kurang dari satu milyar rupiah dengan jumlah 13 kasus (48%), diatas satu milyar rupiah sebanyak sepuluh kasus (37%), tidak jelas kerugian negaranya empat kasus (15%) karena sampai saat ini Kejaksaan belum pernah mempublikasikan di media massa.

Dari sepuluh kasus tindak pidana korupsi yang nilai kerugian negara di atas satu milyar rupiah, hanya satu kasus yang sampai pada tahapan persidangan di Pengadilan Negeri, sementara sisanya masih dalam proses penyelidikan/penyidikan di kepolisian dan kejaksaan di mana status kasus tersebut belum jelas.

Ternyata standar kerja penyelesaian perkara korupsi yang merupakan indicator yang dibuat sendiri oleh Kejaksaan Agung belumlah terpenuhi, karena sampai dengan akhir bulan tahun 2009 ini, kasus yang ditangani langsung oleh Kejaksaan sebanyak 17 kasus dan sangat jauh dari target 5:3:1. Ini sangat jauh dari harapan masyarakat Sulawesi Tengah. Kinerja Kejaksaan sangat lamban, tidak produktif serta tidak efesien dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.

Beberapa kasus korupsi besar yang penangananannya dibuat kabur; Pertama, Dugaan korupsi Dana Pemulihan Pasca Konflik Poso (Dana Recovery Poso Tahun 2007) dari Menkokesra sebesar Rp 58 Milyar. (Dana Recoveri Poso Rp 58 M dengan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) TA 2004/2005 adalah Menkokesra yang diserahkan langsung dan dikelola Pemda Poso dengan pejabat pembuat komitmen (PPK) Bappeda Poso yaitu Nelu .
Kedua,Dugaan korupsi proyek Pasar Sentral Poso dan Pasar Tentena sebesar Rp 2,6 Milyar . Ketiga, dugaan korupsi Proyek Percetakan Sawah di Desa Serese Kecamatan Mamasa dan Desa Lomba Kecamatan Lamala Kabupaten Banggai TA 2006 dan 2007.
Keempat, dugaan korupsi dana proyek pembuatan dua unit jembatan timbang (Portable) TA 2006 di Kabupaten Tolitoli . Kelima, Dugaan Korupsi Dana Pemeliharaan Komputer di lingkungan Pemerintahan Propinsi Sulawesi Tengah TA 2007 .

Catatan:
1.Mekanisme manajemen perkara mulai dari penyelidikan, penyidikan, produk dakwaan dan tuntutan perlu diperbaiki sehingga ketika pada tahapan persidangan, tidak ada lagi putusan kasus yang bebas karena ada kelemahan-kelemahan dalam dakwaan, tuntutan dan kelemahan JPU pada saat pemeriksaan saksi dan alat bukti dipersidangan.

2.Standar kinerja penanganan kasus korupsi dengan metode 5:3:1 tidak tercapai. Kinerja ini terlihat sangat lamban, tidak produktif dan tidak efesien, oleh karena itu, mekanisme reward and punishment bagi Kepala Kejaksaan perlu ditegakkan dan penerapannnya harus transparan dan disampaikan ke masyarakat luas.

3.Pertanggungjawaban pengembalian asset Negara dan uang pengganti kerugian Negara dari tindak pindana korupsi yang telah dikumpulkan harus diumumkan kepublik secara transparan dengan menyebut ke instansi mana saja asset Negara dan uang pengganti kerugian Negara dari tindak pinadana korupsi tersebut diserahkan.

4.Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri perlu memprioritaskan penanganan perkara korupsi dari aspek kualitas, baik yang terkait dengan jumlah nilai kerugian negara, sektor, dampak korupsi yang ditimbulkan bagi masyarakat dan siapa aktor yang terlibat;

5.Tidak adanya mekanisme akuntabilitas kinerja penanganan perkara korupsi melalui penyampaian progress report secara berkala kepada publik dan melibatkan pelapor dalam gelar perkara khususnya di daerah;

6.Integritas upaya penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan dari intervensi, tekanan dan pengaruh dari politisi dan kekuasaan masih terlihat seperti dalam penanganan kasus korupsi dana bantuan kemanusiaan (dana recovery) Kabupaten Poso.

7.Dari sepuluh kasus tindak pidana korupsi yang nilai kerugian negara lebih dari satu milyar rupiah, hanya satu kasus yang sampai pada tahapan persidangan di Pengadilan Negeri, sementara sisanya masih dalam proses penyelidikan/penyidikan di kepolisian dan kejaksaan yang statusnya juga belum jelas, sehingga penting kiranya untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di region Sulawesi untuk dapat menanagani perkara tindak pindana korupsi yang nilai kerugiannya lebih dari satu milyar rupiah.

Tidak ada komentar: