Selamat Datang

STOP KORUPSI, STOP MARKUS, STOP SUAP, STOP KONGKALINGKONG. START TO CLEAN YOUR LIF

BERANTAS KORUPSI

BERANTAS KORUPSI
STOP KORUPSI, STOP MARKUS, STOP SUAP, STOP KONGKALINGKONG. START TO CLEAN YOUR LIF

Rabu, 13 Januari 2010

PREKTEK 1/2 HATI REFORMASI BIROKRASI DAERAH

“Decentralization, without proper governance, led to widespread corruption.”
Otonomi tanpa tata kelola pemerintahan yang benar hanya akan menghasilkan korupsi yang semakin meluas.
(Dillon, HS. "Development and Governance: Where Is Indonesia Heading? "
The Jakarta Post, Tuesday, 03 April 2007)

Idealnya, implementasi otonomi daerah disebut berhasil jika dalam prakteknya setiap proses perumusan dan penerapan kebijakan dalam rangka pengelolaan pemerintahan berlandaskan pada sepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); Partisipasi, Kepastian/ Penegakan hukum, Transparansi, Kesetaraan dan Inkusif, Daya Tanggap, Wawasan Kedepan, Pengawasan, Akuntabilitas, Efesiensi dan Efektifitas serta Profesionalisme. Dengan kata lain, ke sepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik tersebut seharusnya menjadi pegangan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengatur jalannya roda pemerintahan di wilayahnya.

Namun sampai dengan 2009, implementasi sepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik di Sulawesi Tengah, justru tidak menciptakan perubahan secara signifikan. Tingkat kemiskinan masih sulit ditekan, pelayanan publik belum memadai, transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran dan akses publik terhadap dokumen kebijakan, termasuk APBD masih sulit, penegakan hukum dan HAM lemah, dll.

Sementara peran anggota legislatif yang diharap bisa mengakselarasi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dalam perjalanannya juga kerap tidak digunakan secara proporsional, yang berkembang justru sarat dengan nuansa kompromi kepentingan antara eksekutif dan legislatif. Sangat langka terjadi pemandangan di mana parlemen sebenar-benarnya berperan sebagai garda terdepan memperjuangkan kepentingan rakyat face to face dengan eksekutif. Yang nampak, kegarangan anggota parlemen muncul di periode awal ketika menjabat, sesudahnya seolah menjadi “macan ompong”. Sebagaimana ungkapan dalam pepatah “lain lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalang”.

Boleh saja ke dua institusi penyelenggaran pemerintahan daerah ini padu dalam menyuarakan tata kelola pemerintahan yang baik, tetapi realitasnya seringkali berkata lain. Demi meloloskan sebuah keinginan ”terpaksa” arus transaksional tak terhindarkan agar semuanya menjadi lancar. KKN berurat akar karena ia menjadi pelumas yang menggerakkan mesin birokrasi dan roda pembangunan.

Tidak ada komentar: