Selamat Datang

STOP KORUPSI, STOP MARKUS, STOP SUAP, STOP KONGKALINGKONG. START TO CLEAN YOUR LIF

BERANTAS KORUPSI

BERANTAS KORUPSI
STOP KORUPSI, STOP MARKUS, STOP SUAP, STOP KONGKALINGKONG. START TO CLEAN YOUR LIF

Rabu, 13 Januari 2010

POLITIK ANGGARAN YANG TIDAK PRO-POOR

Dibanding dengan daerah lainnya, pengentasan kemiskinan Sulawesi Tengah dinilai menjadi salah satu daerah yang mampu melampaui target pencapaian nasional penurunan jumlah masyarakat miskin sebesar 7,8 persen dalam tiga tahun terakhir atau dua persen setiap tahunnya. Di mana pada 2006, angka kemiskinan sebanyak 566.000, pada 2007 menurun 557.000 dan pada 2008 menurun menjadi 524.000 .
Sementara hasil tabulasi data Sumber Pusat Data dan Informasi Kemiskinan Departemen Sosial RI di 2007 mengomfirmasikan jumlah rumah tangga miskin (RTM) yang tersebar di wilayah Sulteng sebanyak 80.555 kepala keluarga (KK), yakni RTM tertinggi terdapat di Kabupaten Donggala sebesar 49.909 KK, Kabupaten Parigi Moutong 27.018 KK, Kabupaten Poso 20.749 KK, Kabupaten Banggai 20.501 KK, Kabupaten Toli-Toli 18.901 KK, Kabupaten Morowali 17.552 KK, Kabupaten Tojouna-Una 16.797 KK, Kabupaten Banggai Kepulauan 13.718 KK, Kota Palu 13.376 KK dan Kabupaten Buol 11.857 KK .
Namun jika ditelisik penurunan tersebut tidak sebanding dengan besarnya dana yang telah digelontorkan. Secara nasional pada 2007 dana yang digelontorkan untuk penduduk miskin sebesar Rp 54 triliun dan Rp 62 triliun pada 2008. Lebih ironis lagi, sekalipun beragam bantuan-BLT, Raskin, PKPS BBM, dan lain lain-yang disalurkan kepada rakyat miskin namun capaian penurunan tidak berkorelasi langsung pada kualitas perubahan tingkat kesejahteraan rakyat. Hal ini dikarenakan program-program tersebut bersifat karititatif, sesaat dan nuansa edukasinya tidak memberdayakan rakyat. Tidak heran jika program ini menuai resistensi dan protes banyak kalangan. Sementara warga yang mengalami tingkat kemiskinan akut biasanya atau bahkan sama sekali tidak tersentuh dengan program-program tersebut.
Selain itu, jika APBD dibedah maka yang nampak adalah pola pengerukan anggaran yang terbingkai dalam aneka program kerja SKPD saling tumpang tindih, miskin partisipasi dan seolah tidak bersentuhan dengan peningkatan hajat hidup dan pemenuhan kebutuhan mendesak rakyat. Anehnya, aspirasi masyarakat yang dalam Musrenbang cenderung dilihat sebelah mata, selalu diabaikan dan ruang aspirasi tersebut seringkali mengalami penyempitan karena derasnya arus kepentingan di masing-masing institusi penyelenggara pemerintahan. Tidak salah jika Musrenbang sebagai satu-satunya mekanisme perencanaan pembangunan oleh warga disimpulkan sebagai forum basa-basi, sebatas formalitas semata dan sarat dengan aneka kepentingan para lobyis, elit politik dan pejabat .

Tidak ada komentar: